Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Apa itu Shalat Wustha dan Keutamaan Sholat Wustho

Apa-itu-shalat-wustha-dan-keutamaan-Sholat-Wustho
Apa itu Shalat Wustha dan Keutamaan Sholat Wustho Apa-itu-shalat-wustha-dan-keutamaan-Sholat-Wustho

Shalat, adalah untuk menetapkan hakikat kesadaran yang senantiasa “terjaga dan berjaga”. Perjumpaan antara keadaan terjaga dan berjaga adalah pertemuan antara hati nurani dan akal budi.

Kondisi ini hanya dapat dialami oleh siapa saja yang selalu dalam keadaan shalat untuk mengingat Allah.

Lebih khusus lagi, kondisi ini hanya dapat dirasakan oleh siapa saja yang bukan sekadar mengerjakan shalat untuk menggugurkan kewajiban, melainkan mendirikan shalat dengan tetap berada dalam keadaan shalat yang terus menerus tanpa mengenal waktu.

 Berbeda dengan shalat fardhu lima waktu dan shalat sunnah lainnya, shalat terus menerus ini dikenal dengan shalat daim.

“Alladzinahum ‘ala shalatihim daimun, Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.”(QS [70]:23)

Jika shalat fardhu dan sunnah adalah shalat raga, yang diawali dengan menyucikan badan dari hadas (kotoran) kecil dan hadas besar, menutup aurat, dan mengerjakan rukun shalat dari niat shalat hingga salam

Maka shalat daim adalah shalat jiwa, yang diawali dengan menyucikan diri dari penyakit hati, menutup panca indera dari godaan duniawi, dan mengekalkan rukun shalat daim dengan dzikir nafas yang terus menerus.

Shalat wustha yang merupakan shalat makrifat yang ditegakkan ketika seluruh fase shalat telah sempurna.

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

haafizhuu ‘alaa alshshalawaati waalshshalaati alwusthaa waquumuu lillaahi qaanitiina

Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’. Surat Al-Baqarah [2:238]

Wustha adalah pertengahan, pusat, atau poros. Sebagian ulama menafsirkan shalat wustha sebagai shalat Asar, tetapi suratan ayat menyebutkan “semua shalatmu” yang di dalamnya  tentu termasuk shalat Asar, sedangkan shalat wustha disebutkan di luar itu.

Sebagaimana shalat daim, shalat wustha melingkupi wilayah batiniyah manusia.  Shalat wustha adalah shalat ruh. Shalat wustha adalah shalat jantung.

Fungsi jantung laksana raja bagi seluruh anggota tubuh manusia. Jantung adalah tonggak kehidupan, pemompa darah ke sekujur badan, bahkan mata saja disebut sebagai cermin jantung–yang apapun terjadi padanya akan tampak pada mata, demikian pula apa yang dilihat oleh mata seketika informasinya dikirim ke jantung.

 Bila makrifat dimaknai sebagai keadaan melihat–setelah kasyaf atau terbuka hijab dan tajalli atau menerima cahaya–maka hal ini pun berkaitan dengan mata.

Dalam hadits Qudsi, Rasulullah Saw bersabda
bahwa Allah Ta’ala berkata,”Aku jadikan pada tubuh anak Adam itu qasrun (istana kerajaan diri), yang di dalamnya ada shadrun (singgasana kesadaran), yang di dalamnya ada qalbu (mahkota hati), yang di dalamnya ada fuad (jantung hati, kearifan diri), yang di dalamnya ada syaqaf (mata hati, ketajaman intuisis), yang di dalamnya ada lubbun (lubuk hati, desiran), yang di dalamnya ada sirrun (rahasia hati, kehendak), yang di dalamnya ada Aku.”

Diibaratkan mata maka qasrun adalah kelopak mata, shadrun adalah selaput putih mata, qalbu adalah mata, fuad adalah pupil atau anak mata, syaqaf adalah lensa mata, lubbun adalah retina, dan sirrun adalah penglihatan. Jika pintu qasrun tertutup maka tak akan ada jalan masuk bagi cahaya.

Bila shadrun buram maka cahaya tak dapat diterima oleh fuad. Setelah diterima oleh fuad, cahaya memusat pada syaqaf sebelum bayangannya dibawa ke lubbun.

Sirrun sebagai fase terakhir tergantung sejak dari proses awal. Ketika penglihatan berlangsung, yang terjadi pada mata sesungguhnya memulangkan cahaya ke asalnya.

Ketika sudah sampai pada shalat wustha, yang dilihat sesungguhnya adalah cahaya Mahacahaya. Jika demikian adanya maka berlakulah keadaan fa ainama tuwallu fatsamma wajhu ‘l-lahi : maka kemanapun engkau berpaling di situlah wajah Allah (QS [2];115).

Jalan menuju keadaan makrifat adalah dengan shalat wustha. Bila dengan jantung batin atau hati maka merujuk pada jantung Al-Qur’an, yaitu “Walyatalaththaf” atau berlemah lembut seperti termaktub dalam QS Al-Kahfi [18]:19.

Bila dengan jantung zahir atau organ  jantung maka menghidupkan dzikir tahlil dengan penekanan kata “illa ‘l-lah” pada detak jantung. Bila dengan mata maka dengan pandangan yang teduh dan meneduhkan, yaitu pandangan yang baik pada Khaliq dan makhluk.

Rasulullah Saw bersabda,”Sesungguhnya ada 2 hal pada dirimu yang Allah cintai, yaitu lemah lembut dan tidak mudah marah.”(HR. Muslim)

Bila shalat daim diawali dengan menyucikan diri dari penyakit hati, maka shalat wustha sesungguhnya adalah penjagaan hati supaya tidak lagi dihinggapi oleh penyakit

Mengenai status ayat 238 dari surat Al-Baqarah yang berbicara tentang sholat wustho, bagi ulama ushul fikih ayat tersebut masuk dalam kategori ayat mujmal (global).

Misalnya saja sebagaimana ditegaskan oleh seorang ulama ushul fikih modern dari kalangan mazhab Maliki, yaitu Imam As-Sathibi dalam karyanya Al-Muwafaqat fi ushul as-syari’ah.

Dengan demikian, nampaknya tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa sholat wustho sesuatu yang masih sah untuk ditafsirkan.

Bagi kalangan pengkaji hukum Islam secara umum berpandangan bahwa ayat-ayat mujmal hanya bisa ditafsirkan dengan bayan bil ayat atau bil-hadis (penjelasan dengan ayat atau hadis).

 Namun tidak demikian bagi kalangan sufi yang kadang berani keluar dari kaidah ushul dan tetap saja menggunakan ta’wil bathin dalam mengungkap makna yang tersirat di balik kata sholat wustho.

Abu Bakr Muhammad bin Abdullah, atau yang lebih populer dengan sebutan Ibnu Al-Arabi (bukan Ibnu Arabi -tanpa al- tokoh Teosofi Islam yang terkenal dengan gagasan monisme eksistensialnya tapi ini adalah Ibnu Al-Arabi -dengan al- yang merupakan seorang tokoh tafsir dengan spesialisasi tafsir hukum) dalam karyanya ahkam al-quran Jilid I mendokumentasikan beberapa penafsiran para sahabat Nabi dalam memaknai sholat wustho.

Zaid bin Tsabit mengatakan bahwa yang dimaksud sholat wustho adalah sholat dzuhur. Bagi Zaid, sholat dzhuhur memiliki keutamaan dibandingkan sholat-sholat lainnya karena sholat dzuhur adalah sholat yang pertama kali difardhukan bagi umat Islam.

Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa yang disebut sholat wustho adalah sholat Ashar. Pandangan Ali ini didasari hadis rasul yang mengatakan bahwa sholat yang paling besar peluangnya untuk ditinggalkan adalah sholat wustho, dan sholat wustho itu adalah sholat ashar, hingga diperlukan penegasan secara khusus mengenai pentingnya sholat ashar.

Sebagian sahabat menyebutkan sholat wustho adalah sholat maghrib dengan alasan sholat maghrib adalah satu-satunya sholat yang bilangan raka’atnya ganjil. Hal ini menunjukan keutamaan dan keunikan shalat maghrib dibandingkan sholat lainnya.

Ada pula sahabat yang mengatakan bahwa sholat wustho itu adalah sholat isya dengan argumentasi bahwa sholat isya adalah sholat yang berada di tengah-tengah (wustho) antara waktu sholat maghrib (menjelang malam) dan sholat subuh (menjelang pagi).

Ibnu Abbas mengatakan bahwa sholat wustho adalah sholat subuh. Bagi Ibnu Abbas, sholat subuh adalah sholat yang dilakukan di pertengahan malam dan siang.

Terakhir, ada pula yang berpandangan bahwa sholat wustho adalah sholat Jum’at. Di antara beberapa pandangan yang ada, pendapat Ali bin Abi Thalib lah yang paling masyhur dan sering dikutip banyak orang.

Berbeda dengan kalangan ulama tafsir dan fikih, para ulama tasawuf berpandangan bahwa sholat wustho bukanlah salah satu dari sholat lima waktu. Bagi mereka, sholat wustho adalah shalat bathin atau sholat ruhani.

Syeikh Abdul Qodir Jailani yang diakui kedudukannya sebagai waliyul quthb di kalangan dunia tasawuf dan tarekat -sebagaimana dipaparkan Syeikh Al-Hujwiri dalam kitab Kasyful Mahjub- memberikan ulasan yang cukup panjang mengenai sholat wustho.

Bahkan dalam salah satu karyanya, Sirr al-Asrar wa Muzhir al-Anwar Fi Ma Yahtaju Ilaihi, Syeikh Abdul Qodir Jailani membahas secara khusus sholat wustho dalam satu bab, yaitu di bab 14 dengan tema Ma’na al-Ibadah.

Bagi Abdul Qodir, dalam ayat 238 surat Al-Baqarah tersebut terdapat dua perintah. Pertama dalam kalimat Hafidzuu ‘ala ash-sholawati adalah perintah untuk memelihara sholat lahiriah dan dalam kalimat selanjutnya, wa ash-sholat al-wustho adalah perintah untuk memelihara sholat ruhani.

Sholat lahiriah adalah sebagaimana didefinisikan ulama fikih, yaitu sekumpulan bacaan dan gerakan yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Adapun sholat ruhani adalah sholat yang dilakukan oleh hati secara terus menerus.

Sholat ruhani itulah yang dimaksudkan sebagai sholat wustho. Karena, wustho -sesuai dengan maknanya tengah-tengah- memiliki kesamaan dengan posisi hati yang berada di tengah-tengah, di pusat kesadaran dan titik keseimbangan seorang manusia.

Jadi yang dimaksud sholat wustho adalah usaha seorang manusia menjaga hatinya untuk selalu berada di pusat kesadaran dengan mengingat Allah, menyebut asma Allah bahkan bertemu dengan Allah secara ruhani. Hatinya tidak pernah lalai dan tidak pernah tidur akan tetapi selalu berdzikir dan menghadirkan Allah.

Sholat lahiriah dilakukan hanya dalam waktu-waktu tertentu, sholat ruhani dilakukan setiap saat, makanya kemudian ada yang menamakannya juga sholat da’im atau dawam. Sholat lahiriah masjidnya adalah ruangan fisik, sholat ruhani masjidnya adalah hati.

Berjama’ah dalam sholat lahiriah adalah sholat yang dilakukan bersama-sama saudara seiman, dalam sholat ruhani berjama’ah adalah menghimpun seluruh kekuatan dan potensi diri (akal, ruh dan raga) untuk bersama-sama mengagungkan dan melafalkan asma Allah dengan bahasa bathin.

Jika sholat lahiriah dalam berjamaah dipimpin oleh seorang manusia, maka dalam sholat ruhani imamnya adalah qalbu. Terakhir, jika sholat lahiriah kiblatnya adalah Ka’bah, dalam sholat ruhani kiblatnya adalah “wajah” Allah yang ada di mana-mana dengan segala keindahan-Nya yang maha abadi.

Dengan demikian dapat kita pahami, bahwa maksud Allah SWT memberikan tekanan tentang sholat wustho adalah untuk menunjukan bahwa sholat wustho atau sholat ruhani menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan.

Sholat-sholat lahir yang kita kerjakan akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan kemampuan melakukan sholat ruhani.

Namun bukan berarti sholat lahiriah dapat kita abaikan dan hanya mementingkan sholat ruhani. Sebagai seorang manusia, kita bukanlah malaikat yang hanya dibekali ruhani saja sehingga cukup beribadah secara ruhani.

Sebagai seorang manusia, kita bukanlah hewan yang hanya dibekali untuk kelangsungan hidup ragawi saja. Manusia adalah perpaduan antara ruhani dan jasmani, maka kemudian manusia harus mampu menjaga keseimbangan ruhani dan jasmani. Oleh karena itu, perpaduan sholat lahiriah dan sholat ruhani akan melahirkan ketentraman jiwa bagi orang yang menjalankannya dengan baik.

Manusia yang sudah mampu memadukan sholat lahiriah dengan sholat ruhani dapat menjadikan sholat sebagai media untuk berdialog langsung dengan Tuhan. Setiap gerakan dan bacaan yang dilakukan bukan sekedar gerakan dan bacaan yang kosong.

Tapi setiap gerakan dan bacaan yang dilakukan penuh dengan penjiwaan dan penghayatan karena hatinya turut serta dalam menjalankan sholat. Misalnya, ketika mulut kita melafalkan Iyyaka Na’budu, Ya Allah Hanya kepada-Mu lah kami Menyembah, hati kita secara total menyerahkan seluruh jiwa raga hanya kepada Allah SWT, dan ketika kita melafalkan Iyyaka Nasta’inu,

setelah kepasrahan total kepada Allah kita hanya berharap Allah-lah satu-satunya tempat memohon pertolongan, pertolongan yang kita inginkan adalah Ihdina ash-shirat al-mustaqim, yaitu petunjuk untuk mencapai jalan yang lurus, jalan yang dilalui para Nabi, Shiddiqiin, Syuhada dan Sholihin.

Pemaknaan dan penghayatan yang demikian hanya bisa dilakukan ketika menjalankan sholat, kita menghidupkan dan menghadirkan hati kita, tidak hanya sebatas fisik saja.

Sholat yang demikian adalah sholat yang layak disebut mi’raj, sholat yang termasuk dalam kategori perjalanan ruhani menuju Allah, mungkin hadis nabi yang berbunyi Ash-sholat Mi’raj al-mu’miniin, Sholat adalah Mi’rajnya orang-orang yang beriman, baru menemukan relevansinya dalam konteks ini. Semoga Allah selalu membuka dan mempertajam mata hati kita

Demikian Ulusan mengenai maksud arti sholat wustha dan pentingnya menjaga sholat wustho agar kita bisa khusyu dalam shalat .