Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Kematian Abu Jahal Musuh Nabi Muhammad SAW yang Tewas di Perang Badar

Kisah-Kematian-Abu-Jahal-Musuh-Nabi-Muhammad-SAW-yang-Tewas-di-Perang-Badar
Kisah Kematian Abu Jahal Musuh Nabi Muhammad SAW yang Tewas di Perang Badar Kisah-Kematian-Abu-Jahal-Musuh-Nabi-Muhammad-SAW-yang-Tewas-di-Perang-Badar

Abu Jahal adalah salah seorang tokoh yang cukup disegani di kalangan kaum kafir Quraisy. Dalam sejarah Islam, ia dikenal sebagai sosok yang sangat keras perlawanannya terhadap Nabi Muhammad. Berbagai cara dilakukan Abu Jahal untuk memusuhi Nabi, mulai dari memaki, menghina, memerintah orang untuk meletakkan kotoran unta di kedua pundak Nabi yang sedang shalat, dan merencanakan berbagai upaya pembunuhan. Abu Jahal bahkan menjadi pemimpin pasukan kafir Quraisy dalam Perang Badar melawan pasukan Muslim pada tahun 624. Selain memiliki julukan "Bapak Kebodohan" Nabi Muhammad juga menyebutnya sebagai Firaun umat kala itu. 

Abu Jahal adalah putra dari Hisyam bin Al-Mughirah dan Asma binti Makhrabah yang lahir di Mekkah pada sekitar tahun 570. Ia sering disalahpahami sebagai paman atau kerabat Nabi Muhammad, tetapi pada kenyataannya bukan. Abu Jahal adalah keturunan Bani Makhzum dari suku Quraisy, sedangkan Nabi Muhammad dari Bani Hasyim. Nama asli Abu Jahal adalah Amr bin Hisyam. Ia disebut Abu Jahal oleh Nabi Muhammad, yang artinya Bapak Kebodohan. Amr bin Hisyam disebut Abu Jahal karena ia merupakan orang yang paling mengingkari ajaran Islam dan sangat menentang dakwah Nabi Muhammad.

Kisah Kematian Abu Jahal

Saat itu terjadi perang badar pada tahun 624 Mentari sudah tergelincir dari puncaknya. Panas semakin menyengat. Burung-burung pemakan bangkai semakin terbang rendah. Keadaan mulai berubah. Pihak yang mendesak sekarang mulai terdesak. Pertarungan antara pasukan Rasulullah dan Abu Jahal semakin sengit.

Pasukan Muslim yang berjumlah 300 orang semula menerapkan strategi bertahan. Strategi ini diterapkan Rasulullah SAW sebagai pemimpin pasukan karena jumlah lawan jumlahnya tiga kali lipat. Bertahan, menunggu pihak Quraisy berlari menyerang mereka.

Namun, setelah beberapa jam peperangan berlangsung, pasukan Quraisy yang menyerang tanpa formasi mulai putus asa. Pertarungan tidak sesuai perhitungan mereka. Mereka mengira dengan jumlah tiga kali lipat, dalam satu dua jam saja, pasukan Muslim akan takluk. Kenyataannya tidak.

Kenyataannya malah membuat mereka frustasi. Patah semangat, dan mulai muncul ketakutan melihat jagoan-jagoan Muslim beraksi. Tak henti-hentinya Hamzah bin Abdul Muthalib, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, dan yang lainnya, menyabetkan pedang mereka. Satu sabetan atau tusukan pedang pasti disertai teriakan Quraisy yang meregang nyawa. Semakin banyak korban, semakin menciutkan nyali pasukan quraisy.

Sementara pasukan Muslim semakin bersemangat. Seperti yang diperlihatkan Abdurrahman bin Auf. Abdurrahman bin Auf yang terlibat pertarungan dengan beberapa orang Quraisy. Dia berusaha bertahan dan sekali-kali menyerang mengimbangi serangan beberapa orang Quraisy yang mengeroyoknya.

Tiba-tiba, saat Abdurrahman bin Auf bertarung seru, seseorang yang ada di samping kirinya berteriak kepadanya.

“Hai Paman, beritahu kami, mana orang yang dipanggil Abu Jahal?”

Abdurrahman bin Auf kaget saat menoleh. Yang bertanya ternyata seorang anak muda yang masih belasan tahun usianya. Dia ternyata dari golongan Anshar. Pantas kalau dia tidak mengenal Abu Jahal, pikir Abdurrahman bin Auf.

“Kamu siapa dan mau apa mencarinya?” tanya Abdurrahman bin Auf di sela-sela kesibukannya menebaskan pedang menghadapi Quraisy.


“Saya Mu’adz bin Afra. Aku dengar Abu Jahal adalah orang yang paling sering menghina serta menyakiti Rasulullah, saya ingin membunuhnya!” jawab anak muda itu.

Baca Juga Mengenal Imam Al-Ajurri Dalam Kitabnya Akhlaqu Ahlil Qur’an 

Belum hilang kekagetan Abdurrahman bin Auf mendengar jawaban anak muda itu. Di samping kanannya tiba-tiba ada lagi yang berteriak.

“Hai Paman, tunjukkan padaku, di mana orang yang dipanggil Abu Jahal!”

“Kamu siapa dan mau apa mencarinya?” tanya Abdurrahman bin Auf.

“Saya Mu’awwidz bin Afra, aku dengar Abu Jahal orang yang paling sering menghina serta menyakiti Rasulullah, saya ingin membunuhnya!” Anak muda kedua yang ternyata saudara dari anak muda yang pertama, menjawab dengan kalimat yang sama.

“Hah! Kalian memangnya berani?” Abdurrahman bin Auf kaget mendengar jawaban kedua remaja itu.
“Insya Allah, Paman!” jawab Mu’adz bin Afra.

Pada mulanya Abdurrahman bin Auf ragu-ragu, tidak mau menunjukkan Abu Jahal kepada kedua remaja tersebut, tetapi Mu’adz dan Muawwiz terus mendesaknya, akhirnya Abdurrahman bin Auf pun mengalah.

“Baiklah! Saya akan tunjukkan kepada kalian di mana dia, tetapi kalau boleh tahu, apa yang akan kalian lakukan apabila bertemu dengannya?” tanya Abdurrahman bin Auf penasaran.

“Ibuku berpesan, jangan pulang ke rumah selagi kepalanya masih menempel di badannya,” jawab Mu’adz bersungguh-sungguh.

Abdurrahman bin Auf tersenyum mendengar kata-kata dari dua orang remaja yang berani itu. Dia kemudian mengedarkan pandangannya ke arena peperangan.

Sementara itu, Abu Jahal, pimpinan tertinggi pasukan Quraisy sedang bertempur di atas kuda lengkap dengan baju besinya. Dia menebaskan pedangnya melukai pasukan Muslim. Pasukan Muslim mengalami kesulitan menyerang balik Abu Jahal, karena di sekelilingnya selalu berdiri beberapa pasukan Quraisy yang mengawalnya.

Ketika melihat Abu Jahal, Abdurrahman bin Auf berpikir sejenak, mampukah kedua anak muda ini membunuhnya, sementara ia selalu mendapat pengawalan beberapa orang Quraisy?

“Cepat Paman, tunjukkan di mana dia!” teriak Mu’awwiz mengagetkan Abdurrahman bin Auf.

“Itu Abu Jahal, yang berbaju besi yang menunggang kuda,” Abdurrahman bin Auf menunjukkan telunjuknya.

Sebelum Abdurrahman bin Auf menurunkan tangannya, Mu’adz dan Mu’awwiz seketika berlari, melesat bagai anak panah lepas dari busur, mereka berpacu untuk sampai lebih dulu mendekati Abu Jahal. Tentu saja mereka harus berhadapan dengan para pengawalnya yang tidak tinggal diam melihat tuannya terancam.

Mu’adz dan Mu’awwiz terluka terkena tebasan pedang pengawal Abu Jahal. Tapi Mu’awwiz tidak kehilangan akal, memanfaatkan tubuh kecilnya, dia berguling di sela-sela kaki para pengawal, dan berhasil mendekati kudanya.

Tidak mau membuang waktu dan kesempatan, Mu’awwiz menebaskan pedangnya ke kaki kuda yang sedang ditunggangi Abu Jahal, sehingga kuda itu tumbang terguling diikuti tubuhnya yang tinggi besar. Tubuhnya terguling ke arah Mu’adz bin Afra yang langsung menebaskan pedangnya dan mengenai kaki Abu Jahal. Tidak cukup sekali, Mu’adz berkali-kali menebaskan pedangnya hingga kaki Abu Jahal putus.

Tiba-tiba datang Ikrimah menyelamatkan ayahnya. Ikrimah mengayunkan pedangnya ke arah Mu’adz. Mu’adz tidak sempat mengelak, pedang Ikrimah mengenai sebelah atas tangan kanannya, hingga tangan itu hampir putus, hanya tersisa sedikit kulit yang membuat tangannya menggantung.

Sementara itu Mu’awwiz, setelah berhasil menebas kaki kuda Abu Jahal, dia tidak sempat bangun karena langsung dikeroyok para pengawalnya sampai kemudian menggapai syahidnya.

Kecintaan Mu’adz dan Mu’awwiz kepada Rasulullah SAW sampai pada tingkat mereka rela mengorbankan diri untuk membalas siapa saja yang menyakiti beliau.

Ketika Ikrimah menyerang Mu’adz, dia tidak memperhatikan ayahnya yang ingin diselamatkannya. Dia tidak menyadari ketika Abdullah bin Mas’ud datang mendekati Abu Jahal. Abdullah bin Mas’ud memang sengaja mencarinya, setelah mendengar sabda Rasulullah SAW.

“Siapa yang ingin melihat apa yang terjadi dengannya, datangilah.”

Abdullah bin Mas’ud kemudian berkeliling mencari Abu Jahal. Dan dia menemukannya sudah dalam keadaan tidak berdaya. Kemudian Abdullah bin Mas’ud mendekati dia yang terbaring, tidak bisa berdiri karena sebelah kakinya putus. Abdullah bin Mas’ud lalu menginjak dadanya dan menarik janggutnya sambil tersenyum mengejek.

Abu Jahal adalah seorang pemuka Quraisy, dia petinggi salah satu kaum yang ada di Mekkah. Kesombongannya masih tersisa, sehingga dia marah ketika dadanya ‎’yang terhormat’ diinjak dengan hina oleh Abdullah bin Mas’ud.

“Hai penggembala kambing! Kau tidak pantas berbuat seperti ini,” teriak Abu Jahal kepada Abdullah bin Masud. Abdullah bin Mas’ud memang seorang mantan budak, yang dulu di Mekkah diberi tugas menggembala kambing.

“Wahai musuh Allah. Sekarang Allah telah menghinakanmu!” sahut Abdullah bin Mas’ud sambil tangannya terus memegang janggut Abu Jahal.

“Dengan apa Allah menghinakanku? Apakah merupakan kehinaan orang yang dibunuh oleh kaum kerabatnya sendiri?” katanya dengan angkuh. Kesombongannya masih muncul walaupun dalam sudah keadaan hina.

Abdullah bin Mas’ud tidak banyak kata lagi, dia mengambil pedang dari tangan Abu Jahal kemudian melepas penutup kepalanya, lalu memenggal lehernya sampai kepala Abu Jahal putus. Kepalanya kemudian di bawanya ke tenda Rasulullah SAW.

Allah menakdirkan Abu Jahal tidak tewas oleh Mu’adz bin Afra, tapi harus tewas di tangan seorang Abdullah bin Mas’ud. Seorang penggembala kambing yang dulu pernah dihina dan disiksa oleh Abu Jahal. Ini bentuk penghinaan dari Allah Azza wa Jalla terhadap seorang sombong yang dulunya sangat kejam dalam menyakiti kaum muslimin. Allah menghendaki agar orang yang menghentikan hembusan nafas terakhinya adalah salah seorang yang dahulu pernah ia hina.

Melihat kedatangan Abdurrahman bin Auf membawa kepala Abu Jahal, Rasulullah SAW bersabda, “Allah tidak ada Tuhan selain-Nya, Allah tidak ada Tuhan selain-Nya, Allah tidak ada Tuhan selain-Nya. Demi Allah, ini adalah Fir’aun ummat ini! Kaliankah yang membunuhnya?”

“Ya!” jawab mereka.

Seketika Rasulullah SAW bersujud seraya mengatakan, “Segala puji bagi Allah yang benar janji-Nya dan yang telah menolong hamba-Nya yang telah mengalahkan tentara musuh-Nya.”