Kisah Teladan Amir bin Abdillah at-Tamimi seorang ulama Tabi’in yang Zuhud
Kisah Teladan Amir bin Abdillah at-Tamimi seorang ulama Tabi’in yang Zuhud
Ketika itu pemuka Bashrah adalah seorang sahabat agung, Abu Musa al-Asy’ari, semoga Allah meridhainya dan menjadikan wajahnya berseri di surga-Nya. Beliau adalah wali kota Bashrah yang bercahaya. Beliau juga adalah panglima perang yang berasal dari Bashrah setiap kali menghadapi musuh. Beliau adalah imam penduduk Bashrah, pengajar dan pembimbingnya menuju ke jalan Allah.
Kepada Abu Musa al-Asy’ari inilah Amir bin Abdillah berguru, baik dalam kondisi perang maupun damai. Aktif menemani beliau setiap menempuh perjalanan, meneguk ilmu darinya tentang kitabullah yang masih segar seperti tatkala diturunkan di hati Muhammad. Juga mengambil hadits shahih yang bersambung hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Yang mulia. Beliau menuntut ilmu tentang agama Allah Subhanahu wa Ta’ala di hadapan Abu Musa al-Asy-‘ari.
Setelah beliau menyempurnakan ilmu sesuai yang dikehendaki, maka beliau membagi hidupnya menjadi tiga bagian.
Bagian pertama adalah untuk halaqah dzikir di masjid Bashrah yang disana dibacakan dan diajarkan Al-Qur’an kepada manusia.
Kedua, beliau pergunakan untuk mengenyam manisnya ibadah, beliau pancangkan kedua kakinya berdiri di hadapan Allah hingga letih kedua telapak kakinya.
Ketiga, untuk terjun ke medan jihad, beliau menghunus pedangnya untuk berperang di jalan Allah. Seluruh umurnya tidak pernah absen dari tiga kesibukan itu, sehingga beliau dikenal dengan abid (ahli ibadahnya) dan ahli zuhudnya penduduk Bashrah.
Di antara berita tentang keadaan Amir bin Abdillah adalah seperti yang dikisahkan oleh seorang putra Bashrah yang mengatakan, “Aku pernah mengikuti safar beserta rombongan yang di dalamnya terdapat Amir bin Abdillah, tatkala menjelang malam kami singgah di hutan.
Aku lihat Amir mengemasi barang-barangnya, mengikat kendaraannya di pohon dan memanjangkan tali pengikatnya, mengumpulkan rerumputan yang dapat mengenyangkan kendaraannya dan meletakkan di hadapannya…kemudian beliau masuk ke hutan dan menghilang di dalamnya. Aku berkata kepada diriku sendiri, “Demi Allah, aku akan mengikutinya dan aku ingin melihat apa yang sedang ia lakukan di tengah hutan malam ini.”
Aku melihat Amir berjalan hingga berhenti di suatu tempat yang lebat perpohonannya dan tersembunyi dari pandangan manusia. Lalu dia menghadap ke kiblat, beridiri untuk shalat. Aku tidak melihat shalat yang lebih bagus, lebih sempurna dan lebih khusyuk dari shalatnya. Setelah berlalu dari beberapa rakaat yang dikehendaki Allah, dia berdo’a kepada Allah dan bermunajah kepada-Nya.
Diantara yang dia ucapakan ialah, “Wahai Ilahi, sungguh Engkau telah menciptakan aku dengan perintah-Mu, lalu Engkau tempatkan aku ke dunia ini sesuai kehendak-Mu, lalu Engkau perintahkan “berpegang teguhlah!”, bagaimana aku akan berpegang teguh jika Engkau tidak meneguhkan aku dengan kelembutan-Mu ya Qawiyyu yaa Matiin!
Wahai Ilahi…sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa seandainya aku memiliki dunia dan seluruh isinya, kemudian diminta untuk meraih ridha-Mu niscaya aku akan memberikan kepada orang yang memintanya, maka berikanlah jiwaku kepadaku ya Arhamar Rahimin!
Wahai Ilahi…kecintaan kepada-Mu yang sangat, membuatku terasa ringan menghadapi musibah, ridha atas segala qadha’, maka aku tidak peduli terhadap apa pun yang menimpa diriku pagi dan sore harinya selagi masih bisa mencintai-Mu.”
Putra Bashrah itu melanjutkan, “Kemudian rasa kantuk mendatangiku hingga aku tertidur. Berkali-kali aku tidur dan bangun sedang Amir masih tegak di tempatnya, tetap dalam shalat dan munajahnya sampai datanglah waktu Shubuh.
Usai shalat Shubuh beliau berdo’a:
“Ya Allah, waktu Shubuh telah datang, manusia segera bangun dan pergi mencari karunia-Mu. Sesungguhnya masing-masing mereka memiliki keperluan, dan sesungguhnya keperluan Amir di sisi-Mua adalah agar Engkah mengampuninya. Ya Allah, kabulkanlah keperluanku dan juga keperluan mereka yang akramal akramin. Ya Allah, sesungguhnya aku telah memohon kepada-Mu tiga perkara, lalu Engkau mengabulkan dua diantaranya dan tinggal satu saja yang belum. Ya Allah perkenankanlah permohonan tersebut sehingga aku bisa beribadah kepada-Mu sesuka hatiku dan sekehendakku!”
Beliau beranjak dari tempat duduknya dan tiba-tiba pandangan matanya tertuju kepadaku. Beliau terperanjat dan berkata, “Apakah Anda membututiku sejak kemarin malam wahai saudaraku dari Bashrah?” aku menjawab, “Benar.”
Beliau berkata, “Rahasiakanlah apa yang Anda lihat, semoga Allah merahasiakan aib Anda!” aku menjawab, “Demi Allah, engkau beritahukan aku terlebih dahulu tentang tiga permohonanmu kepada Allah tersebut, atau akau akan memberitahukan kepada manusia tentang apa yang aku lihat darimu.”
Beliau berkata, “Duhai celaka, jangan sampai engkau beritahukan kepada orang lain!”
aku katakan, “Dengan syarat engkau penuhi permintaanku kepadamu.”
Maka tatkala beliau melihat keseriusanku, beliau berkata, “Akan aku ceritakan asalkan Anda mau berjanji kepada Allah untuk tidak menceritakan hal ini kepada siapapun.”
Aku berkata, “Baiklah aku berjanji kepada Allah untuk tidak menyebarkan rahasia ini selagi Anda masih hidup.”
Lalu beliau berkata: “Tiada sesuatu yang memudharatkan agama yang lebih aku takuti dari fitnah wanita, maka aku memohon kepada Rabb-ku agar mencabut rasa cinta (syawatku) kepada wanita, maka Allah mengabulkan do’aku sehingga tatkala aku berjalan, aku tidak peduli apakah yang aku lihat seorang wanita ataukah tembok.”
Aku berkata, “Ini yang pertama, lantas apa yang kedua?”
beliau menjawab, “Yang kedua adalah aku memohon kepada Rabb-ku agar tidak diberi rasa takut kepada siapapun selain Dia, maka Allah mengabulkan aku sehingga demi Allah, tiadalah yang aku takuti baik yang dilangit dan di bumi selain Dia.”
Aku bertanya, “Lantas apa do’a yang ketiga?” beliau menjawab, “Aku memohon kepada Allah agar menghilangkan rasa kantuk dan tidur sehingga aku bisa beribadah kepada-Nya di malam dan siang hari sesuka hatiku, namun Allah belum mengabulkannya.”
Tatkala aku mendengar dari beliau, aku berkata, “Kasihanilah dirimu, Anda telah melakukan shalat di malam hari dan shaum di siang hari, padahal surga dapat diraih dengan amal yang lebih ringan dari apa yang Anda kerjakan. Dan neraka dapat dihindari dengan perjuangan yang lebih ringan dari apa yang Anda usahakan.”
Beliau berkata, “Aku takut jika nanti aku menyesal selagi tiada bermanfaat sedikit pun penyesalan itu. Demi Allah aku akan bersungguh-sungguh untuk beribadah, tidak ada pilihan lain, jika aku selamat itu semata-mata karena rahmat Allah, jika aku masuk neraka maka itu karena keteledoranku.”
Amir bin Abdullah bukan sekedar ahli ibadah di waktu malam saja, namun juga mujahid di siang harinya. Tiada penyeru jihad fi sabilillah memanggil melainkan beliau segera mendatanginya.
Sudah menjadi kebiasaan beliau, manakala hendak bergabung bersama para mujahidin yang hendak berperang, beliau melihat-melihat kelompok pasukan untuk memilihnya. Jika beliau dapatkan yang sesuai, beliau berkata kepada mereka, “Wahai saudara, sesungguhnya aku ingin bergabung bersama kelompok kalian ini jika kalian mau mengabulkan tiga permintaanku.”
Mereka bertanya, “Apa tiga permintaan tersebut?”
Beliau menjawab, “Pertama, hendaknya kalian perkenan aku untuk menjadi pelayan bagi keperluan kalian, maka tidak boleh seorang pun diantara kalian merebut tugas tersebut. Kedua, hendaknya aku lah yang dijadikan mu’adzin, maka tidak boleh seorang pun diantara kalian merebut tugas adzan untuk shalat. Ketiga, hendaklah kalian ijinkan aku untuk menginfakkan hartaku kepada kalian sesuai kemampuanku.” mereka menjawab, “Ya”, maka beliau segera bergabung, namun bila dijawab tidak, maka beliau mencari kelompok pasukan lain yang mau menerima permintaan tersebut.
Sungguh di kalangan para mujahidin tersebut, Amir bin Abdillah mengambil bagian paling banyak dalam hal resiko dan kesusahan, namun mengambil bagian terkecil dalam hal yang menyenangkan ( pembagian ghanimah). Beliau terjun di kancah peperangan dengan gigih yang tiada orang lain segigih beliau dalam berperang. Akan tetapi di saat pembagian ghanimah, tiada yang lebih enggan menerimanya kecuali beliau.
Inilah Sa’ad bin Abi Waqash tatkala usai perang Qadisiyah di istana Kisra, beliau perintahkan Amru bin Muqoorin untuk mengumpulkan ghanimah dan menghitungnya agar selanjutnya seperlima dari ghanimah tersebut dikirim ke baitul maal bagi kaum muslimin. Adapun sisanya dibagikan kepada para mujahidin. Maka dikumpulkanlah harta benda berharga yang luar biasa banyaknya. Disana ada keranjang besar yang tertumpuk oleh tumpukan bebatuan berisi penuh bejana-bejana dari emas dan perak yang biasa dipakai oleh raja-raja Persia untuk makan dan minum.
Ada pula sebuah kotak dari kayu mewah yang tatkala dibuka ternyata berisi baju-baju, pakaian dan selendang-selendang kaisar yang berenda permata dan mutiara. Ada lagi kotak perhiasan yang berisi barang-barang berharga seperti kalung dan perhiasan yang beraneka ragam. Ada juga kotak yang berisi senjata-senjata milik raja-raja Persi terdahulu, dan pedang-pedang raja maupun pemimpin yang tunduk kepada Persi sepanjang perjalanan sejarah.
Di saat orang-orang bekerja menghitung ghanimah di bawah pengawasan kaum muslimin…tiba-tiba muncullah seorang laki-laki yang kusut dan berdebu sedang membawa kota perhiasan yang berukuran besar dan berat bebannya, dia mengangkat dengan kedua tangannya sekaligus.
Mereka memperhatikan dengan seksama, mata mereka belum pernah melihat kotak perhiasan sebesar itu, belum ada pula di antara kotak perhiasan yang terkumpul yang setara atau mendekati besarnya dengan kotak tersebut.
Mereka melihat apa yang ada di dalamnya, ternyata penuh berisi perhiasan permata dan intan, lalu mereka bertanya kepada laki-laki tersebut, “Dimanakan Anda mendapatkan simpanan yang berharga tersebut?” orang tersebut menjawab, “Aku dapatkan dalam peperangan anu…di tempat anu..”
Mereka bertanya, “Sudahkan Anda mengambil sebagiannya?” orang itu menjawab, “Semoga Allah memberikan hidayah kepada kalian! Demi Allah, sesungguhnya kotak perhiasan ini dan seluruh apa yang dimiliki raja-raja Persia bagiku tidaklah sebanding dengan kuku hitamku. Kalaulah bukan karena ini bukanlah hak dari kaum muslimin niscaya aku tidak sudi mengangkutnya dari dalam tanah dan tidak akan kubawa ke sini.” Mereka bertanya, “Siapakah Anda, semoga Allah memuliakan Anda!”
Orang itu menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan memberitahukannya karena kalian nanti akan memujiku, tidak pula aku ceritakan kepada selain kalian karena mereka akan menyanjungku. Akan tetapi aku memuji Allah Ta’ala dan mengharap pahala-Nya.” Kemudian ia meninggalkan mereka dan pergi. Mereka menyuruh seseorang untuk mengikuti laki-laki misterius tersebut. Utusan tersebut terus membuntuti di belakangnya tanpa sepengetahuan beliau hingga sampai kepada para sahabatnya. Utusan tersebut bertanya kepada mereka perihal laki-laki itu, lalu mereka menjawab, “Apakah Anda belum tahu siapa laki-laki itu? Dialah ahli zuhudnya orang bashrah…Amir bin Abdillah at-Tamimi.”
Meski demikian gemilangnya perjalanan hidup Amir bin Abdillah tetap beliau tidak terhindar pula dari hasutan dan gangguan manusia.
Beliau menghadapi resiko seperti yang biasa dialami oleh orang yang lantang menyuarakan kebenaran, mencegah kemungkaran dan berusaha untuk menghilangkannya.
Peristiwa yang melibatkan beliau mendapatkan hasutan tersebut bermula ketika beliau melihat salah seorang anak buah dari kepala polisi Bashrah sedang memegang leher seorang ahli Dzimmah dan menariknya. Sementara orang dzimmi tersebut berteriak meminta tolong kepada manusia, “Tolonglah aku, semoga Allah menolong kalian! Tolonglah ahli dzimmah yang dilindung Nabi kalian wahai kaum muslimin!” maka Amir bin Abdillah menghampirinya dan bertanya, “Kamu sudah menunaikan jizyah yang menjadi kewajibanmu?” ahli dzimmah itu menjawab, “Ya, aku sudah menunaikannya.” Kemudian Amir menoleh kepada orang yang memegang leher ahli dzimmah tersebut dan bertanya, “Apa yang Anda inginkan darinya?” dia menjawab, “Aku ingin dia pergi bersamaku untuk membersihkan kebun milik kepala polisi.” Amir bertanya kepada si dzimmi, “Anda berhasrat untuk bekerja di tempat tersebut?” Si dzimmi menjawab, “ Tidak, karena tugas itu akan memeras tenagaku dan aku tidak bisa mencari makan untuk keluargaku!” lalu Amir menoleh lagi kepada laki-laki yang memegang leher dzimmi tersebut, “Lepaskanlah dia!” Ia menjawab, “Aku tidak akan melepaskannya.”
Maka tidak ada pilihan bagi Amir selain menyelamatkan orang dzimmi tersebut sembari berkata, “Demi Allah, tidak boleh perjanjian orang dzimmi (untuk dilindungi) dengan nabi Muhammad dibatalkan selagi saya masih hidup.” Kemudian berkumpullah manusia dan turut membantu Amir mengalahkan polisi itu dan akhirnya selamatlah orang dzimmi tersebut. Sebagai pelampiasan teman-teman petugas polisi tersebut menuduh Amir sebagai orang yang tidak taat pemerintah dan keluar dari ahlus sunnah wal jama’ah. Mereka berkata, “Dia tidak mau menikah dengan wanita… tidak mau makan daging hewan dan susunya..tidak mau menghadiri pertemuan yang diadakan pemerintah..” dan mereka mengadukan persoalan tersebut kepada amirul mukminin Utsman bin Affan.
Khalifah meminta wali Bashrah memanggil Amir bin Abdillah dan meminta keterangan kepadanya perihal tuduhan yang ditujukan kepadanya, lalu hasilnya agar dilaporkan kepada khalifah. Maka wali Bashrah memanggil Amir dan berkata, “Sesungguhnya amirul mukminin –semoga Allah memanjangkan umurnya- telah menyuruhku bertanya kepadamu perihal perkara-perkara yang dituduhkan kepada Anda.” Amir menjawab, “Silahkan Anda bertanya sesuai yang diinginkan amirul mukminin.” Lalu wali Bashrah bertanya, “Mengapa Anda menjauhi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. dan tidak mau menikah?” beliau menjawab, “Aku tidak ingin menikah bukan karena menyimpang dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. karena aku tahu tidak ada kerahiban (hidup membujang untuk beribadah) dalam Islam. Namun aku hanya memiliki satu jiwa saja, maka aku jadikan ia untuk Allah dan aku khawatir jika istriku kelak akan mengalahkan hal itu.”
Wali berkata, “Lalu mengapa Anda tidak mau makan daging?” beliau menjawab, “Aku bersedia memakannya bila aku berselera dan aku mendapatkannya. Namun bila aku tidak berselera atau aku berselera tapi aku tidak mendapatkannya maka aku tidak memakannya.” Beliau ditanya lagi, “Mengapa Anda tidak mau makan keju?” beliau menjawab, “Sesungguhnya di daerah saya banyak tinggal orang-orang majusi yang membuat keju, mereka adalah suatu kaum yang tidak membedakan antara bangkai dengan hewan yang disembelih, sehingga saya khawatir jika minyak yang merupakan salah satu bahan pembuat keju berasal dari hewan yang tidak disembelih.
Jika telah ada dua orang muslim yang melihat bahwa keju tersebut dibuat dari minyak hewan yang disembelih, tentulah aku akan memakannya.” Beliau ditanya, “Apa yang menghalangi Anda untuk mendatangi pertemuan yang diadakan pemerintah dan menyaksikannya?” beliau menjawab, “Sesungguhnya di depan pintu kalian begitu banyak orang yang ingin dipenuhi hajatnya, maka undanglah mereka ke tempat kalian dan cukupilah kebutuhan mereka dengan apa yang kalian punya, dan biarkanlah orang yang tidak meminta kebutuhan kepada kalian.”
Usai pertemuan tersebut, jawaban Amir bin Abdillah ini dilaporkan kepada amirul mukminin Utsman bin Affan dan khalifah memandang tidak ada indikasi menyimpang dari ketaatan atau keluar dari ahlus sunnah wal jama’ah pada diri amir.
Hanya saja api kejahatan belum berhenti sampai disitu, isu yang membicarakan keburukan Amir bin Abdillah makin gencar, hingga nyaris terjadi fitnah antara pembela beliau dengan orang-orang yang menjadi saingannya, lalu Utsman bin Affan memerintahkan beliau untuk pindah ke negeri Syam dan menjadikan negeri tersebut sebagai tempat tinggalnya. Khalifah mewasiatkan walikota Syam Mu’awiyyah bin Abi Sufyan untuk menyambut baik kedatangan Amir dan menjaga kehormatannya.
Sampailah hari dimana Amir bin Abdillah memutuskan untuk berpindah dari Bashrah. Para sahabat dan murid-murid beliau keluar untuk mengucapkan perpisahan dengan beliau. Mereka mengantar beliau hingga sampai ke Marbad, setibanya disana beliau berkata kepada mereka, “Sesungguhnya saya adalah penyeru maka jagalah seruanku.” Lalu orang-orang melongok agar dapat melihat beliau dan mereka tenang tak bergerak dan mata mereka tertuju kepada beliau, sementara beliau mengangkat kedua tangannya dan berdo’a, “Ya Allah, orang yang telah menghasut dan mendustaiku serta menjadi sebab terusirnya aku dari negeriku, memisahkan antara diriku dengan para sahabatku..ya Allah, sesungguhnya aku telah memaafkannya maka maafkanlah dia. Berilah ia karunia kesehatan dalam agama dan dunianya. Limpahkanlah aku, dia dan juga seluruh kaum muslimin dengan rahmat-Mu, ampunan-Mu dan kebaikan-Mu wahai yang palng pengasih” kemudian beliau mengarahkan kendaraannya menuju Syam.
Amir bin Abdillah memutuskan hidup di negeri Syam untuk mengisi sisa-sisa umurnya. Beliau memilih Baitul Maqdis sebagai tempat tinggal dan beliau mendapatkan perlakuan baik dari pemimpin Syam, Muawiyah bin Abi Sufyan, dihormati dan dihargai.
Tatkala beliau sakit menjelang wafatnya, para sahabat beliau menjenguknya dan mereka mendapatkan beliau sedang menangis. Mereka bertanya, “Apa yang menyebabkan Anda menangis, padahal Anda memiliki keutaman ini dan itu?” Beliau menjawab, “Demi Allah, aku menangis bukan karena ingin hidup lama di dunia atau takut menghadapi kematian, akan tetapi aku menangia karena jauhnya perjalanan dan alangkah sedikitnya bekal. Sungguh, aku berada di antara tebing dan jurang..bisa jadi ke surga bisa jadi pula tergelincir ke neraka, aku tidak tahu dimana akan akan sampai…” Kemudian beliau menghela nafas pelan sedang lisannya basah dengan dzikrullah..di sana -di sana..di kiblat yang pertama..Haramain yang ketiga..tempat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan isra’..Amir bin Abdillah berdiam diri.