Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

DALIL HUKUM SUARA WANITA ( PEREMPUAN ) BUKAN AURAT MENURUT AL-QURAN DAN HADITS

Dalil-Hukum-Suara-wanita-perempuan-bukan-Aurat-menurut-AL-Quran-dan-Hadits
DALIL HUKUM SUARA WANITA ( PEREMPUAN ) BUKAN AURAT MENURUT AL-QURAN DAN HADITS Dalil-Hukum-Suara-wanita-perempuan-bukan-Aurat-menurut-AL-Quran-dan-Hadits

Dalil Hukum Suara wanita menurut AL-Quran dan Hadits - Wanita sangat di muliakan dalam Islam sehingga oleh Allah SWT salam Al Quran ada surat An-Nisa artinya wanita-Wanita artinya wanita-wanita

Dalam surat annisa hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita lebih banyak disebutkan dalam surah ini daripada dalam surah yang lain , begitu Pula dengan Hukum tentang Hukum Suara wanita ( perempuan ) ditermaktub dalam al-Quran dan hadits

Wanita Jumhur (mayoritas) Ulama berpendapat bahwa suara wanita itu bukan AURAT. Bahkan para Ulama dari 4 Mazhab fiqih berpendapat juga demikian walaupun pendapat ini tidak mencapai derajat ‘Ijma’.

Dizaman Nabi Muhammad saw banyak wanita baik itu muda atau tua yang datang kepada Nabi saw untuk mengadukan suatu hal atau juga bertanya tentang masalah syariah, dan Nabi tidak melarang itu. Bahkan wanita itu bertanya didepan para sahabat Nabi saw yang sedang berkumpul, dan Nabi tetap menerimanya dan tidak memrintahkan sahabatnya yang kesemuanya lelaki itu untuk menutup kuping atau berpindah tempat guna menghindar dari mendengar pertanyaan sang wanita.

Contoh yang masyhur ialah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim tentang seorang wanita yang datang kepada Nabi saw untuk menanyakan soal hutang puasa yang ditinggal mati oleh Ibunya.

Atau juga cerita wanita yang bernazdar dan ia sampaikan langsung didepan Nabi sekembalinya Nabi dari peperangan. Juga tentang pembaitan taat kepada Nabi saw sebagaimana hadits dari Ummu ‘Athiyyah yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori. Dan masih banyak lagi hadits-hadits senada.

Begitu juga bahwa para istri-istri Nabi saw banyak yang meriwayatkan hadits dari Nabi saw dan disampaikan kepada para sahabat yang lainnya, baik itu ketika Nabi masih hidup atau juga telah wafat. Istri-istri beliau adalah wanita yang paling mengerti tentang syariah, seandainya suara wanita itu haram nisacaya mereka tak akan mau menyampaikan hadits kepada para sahabat.

Dan begitu juga yang terjadi setelah zaman Nabi saw, mereka para wanita datang dan mengadukan permasalahan kepada Khulafa Al-Rosyidin dan juga kepada khalifah setelahnya. Dan tidak ulama yang mempermasalahkan itu.

Dalil Al Qur’an

Berikut ini diantara ayat al Qur’an yang menyebutkan secara tersurat maupun tersirat bahwa suara wanita itu bukanlah aurat.

1. Allah  memerintahkan para istri Rasulullah n agar berkata-kata, namun dengan perkataan dan cara yang baik. Dan tentunya perkataan istri Nabi itu akan di dengar bukan saja oleh para shahabiyah tetapi juga para shahabat g. FirmanNya :

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا

“Wahai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)

Jadi, suara wanita aslinya bukanlah aurat, tetapi berbicara dengan nada tunduk itu yang dilarang. Dalam bahasa Alqur’an disebut dengan “Al-Khudu’ Fil-Qoul”, Yaitu melemah lembutkan suara sehingga membuat yang mendengarkannya itu menjadi “tergoda”, terlebih lagi mereka yang punya penyakit dalam hatinya, atau juga orang yang punya niat kotor

Dalam AL-qur’an, Allah swt berfirman:

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ

“apabila kamu meminta suatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS AL-Ahzab 53)

Ayat diatas tidak menjelaskan kalau suara wanita itu aurat atau dilarang untuk didengar. Tetapi seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa suara wanita memang bukan aurat, tapi ada batasan dimana suara wanita itu harus dijaga.

2. Allah menceritakan wanita yang menggugat kepada Nabi tentang dzihar yang dilakukan suami wanita tersebut.

 FirmanNya :

قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ

“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar  hiwar (dialog)  antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” ( Al Mujadilah : 1)

Dan tentu saja pengaduan wanita tersebut kepada Nabi n mengunakan kata-kata, bukan dengan bahasa isyarat. Dan mustahil Rasulullah n akan mau mendengar suara wanita tersebut bila hal tersebut adalah aurat.

3.Dalam al Qur’an terdapat kisah tentang dialog Nabi Musa as dengan dua wanita kakak beradik, yakni putri nabi Syu’aib,

 FirmanNya :

وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأَتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ

“Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men- jumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?" Kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya." (Al Qashash : 23)

Dan disambung diayat selanjutnya :

فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami". Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut. kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu." (Al-Qashash: 25)

Demikianlah, masih banyak dalil dalam kitabullah yang menunjukkan bahwa suara wanita bukanlah aurat. Baik dalil-dalil tersebut bersifat umum yang mewajibkan, menyunnahkan, atau memubahkan berbagai aktivitas, yang berarti mencakup pula bolehnya wanita melakukan aktivitas-aktivitas itu.
Seperti para wanita berhak dan berwenang melakukan aktivitas jual beli (QS. Al-Baqarah: 275; QS. An-Nisa’:29), berhutang-piutang (QS. Al-Baqarah: 282), sewa-menyewa (ijarah) (QS. Al-Baqarah: 233; QS. Ath-Thalaq: 6), memberikan persaksian (QS. Al-Baqarah: 282), menggadaikan barang (rahn) (QS. Al-Baqarah: 283), menyampaikan ceramah (QS.  An-Nahl: 125; QS. As-Sajdah: 33), meminta fatwa (QS. An-Nahl: 43), dan sebagainya.
 Yang kesemuanya itu hampir mustahil tidak menggunakan aktivitas suara/ berbicara.


Hadits Nabi dan Atsar para shahabat

1. Shahabiyah (shahabat wanita) mereka berbicara dengan Rasulullah n.

Banyak hadits yang menceritakan bahwa para shahabat wanita dahulu juga bertanya kepada Rasulullah n,,, bahkan ketika Nabi n sedang berada di tengah-tengah para sahabat laki-laki. Diantaranya adalah apa yang disebutkan dalam sebuah hadits berikut ini :

أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ، جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ، أَفَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ: «نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا، أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً؟ اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالوَفَاءِ

Dari Ibnu Abbas h, bahwa ada seorang wanita dari Juhainah datang kepada Rasulullah n, lalu berkata : “Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk pergi haji, tetapi dia meninggal sebelum berangkat haji, apakah saya bisa berhaji atas nama ibu saya?” Beliau bersabda: “Ya, berhajilah untuknya, apa pendapatmu jika ibumu punya hutang? Bayarlah hutang kepada Allah, sebab hutang kepada Allah lebih layak untuk ditunaikan.” (HR. Bukhari no : 1852)

2. Para Shahabat mendatangi ummul mukminin untuk bertanya hukum agama.

Dan para sahabat sendiri juga pernah pergi kepada ummahatul mukminin (para isteri Rasulullah) untuk meminta fatwa dan mereka pun memberikan fatwa dan berbicara dengan orang-orang yang datang. Dan tidak ada seorang pun mengatakan, “Sesungguhnya ini dari Aisyah atau selain Aisyah telah melihat aurat yang wajib ditutupi,” padahal isteri-isteri Nabi mendapat perintah dengan keras yang tidak pernah dirasakan bagi wanita lainnya.[3]

Al Ahnaf ibn Qais berkata : “Aku telah mendengar hadits dari mulut Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali. Dan aku tidak pernah mendengar hadits sebagaimana aku
mendengarnya dari mulut ‘Aisyah.” (HR. Al Hakim)

Musa bin Thalhah ra. berkata :

مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَفْصَحَ مِنْ عَائِشَةَ

“Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih fasih bicaranya daripada Aisyah.” (HR. Tirmidzi)

Pendapat ulama mazhab

Berikut perkataan para ulama dan yang termaktun dalam kitab-kitab mu’tabarah yang menjelaskan tentang hukum suara wanita :

-      Hanafiyah
Ada sebagian riwayat yang mengatakan bahwa Abu Hanifah berpendapat suara wanita adalah aurat. Namun, menurut khabar yang kuat adalah bahwa kalangan Hanafiyah menyatakan suara wanita bukan aurat.

-      Malikiyah dan Hanabilah
Dalam al Mausu’ah Fiqihiyah al Kuwaitiyah juz 4 halaman 91 dapat disimpulkan tentang pandangan kedua mazhab ini bahwa suara wanita bukanlah aurat. Yaitu ketika mereka berpendapat dibencinya mendengarkan nyanyian wanita.

-      Syafi’iyah
 Diketahui secara pasti pendapat dari mazhab ini, bahwa suara wanita bukanlah aurat. Dan bahkan menurut syafi’iyah, boleh mendengarkan suara wanita menyanyi dengan catatan aman dari fitnah.[5]

 Pendapat para ulama lainnya.

- Umairah mengatakan  : “Suara perempuan bukan aurat berdasarkan pendapat sahih, maka tidak haram mendengarnya.”[6]

- Zainuddin al-Malibary berkata : “Suara tidak termasuk aurat, karena itu tidak haram mendengarnya kecuali dikuatirkan fitnah atau berlezat-lezat dengannya sebagaimana yang telah dibahas oleh Zarkasyi.”[7]

- Syaikh al Jaziri Hafizhahullah berkata : “Suara wanita bukanlah aurat. Karena istri-istri Nabi dahulu juga bercakap-cakap dengan para shahabat.[8]

Kalangan Yang Mengatakan Bahwa Suara Wanita Aurat

Namun, sebuah fakta yang tidak bisa kita pungkiri, bahwa ada sebagian ulama yang memang berpendapat bahwa suara wanita adalah aurat. Pendapat mereka ini didasarkan kepada beberapa dalil diantaranya :

1.    Hadits Rasulullah Saw, beliau bersabda :

الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ

“Wanita adalah aurat, jika dia keluar maka syetan akan mengawasinya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah Thabarani ; shahih)

Berdasarkan makna dzahir hadits ini, kalangan ini  menyimpulkan bahwa semua bagian dari wanita adalah aurat termasuk suaranya.

Bantahan : Dalam Ilmu fiqih tidak asing lagi diketahui adanya dalil yang bersifat ‘aam (umum) dan dalil khosh (khusus).  Jadi sebuah dalil terkadang bermakna mujmal (global) tetapi ada pula yang muqayad (terbatasi). Contohnya firman Allah Swt dalam surat al-Maidah ayat 3 yang menjelaskan keharaman semua bangkai, tetapi kemudian dikhususkan bangkai binatang laut darinya, dalil takhsisnya adalah sabda Nabi : “Dihalalkan bagi kami dua bangkai…. Yaitu (bangkai) ikan dan belalang.”

Oleh karena itu para ahli ushul membuat kaidah, Hamlul Muthlaq ilal Muqayyad (Memahami dalil yang umum harus dibatasi oleh yang khusus).

Hadits diatas adalah hadits umum yang menginformasikan secara umum bahwa tubuh wanita adalah aurat, yang kemudian ditakhsis (dibatasi) dengan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa wajah, telapak tangan dan termasuk suara adalah yang dikecualikan.

2.    Firman Allah ta’ala :

وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ

 “Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. (An Nuur : 31)

Menurut kalangan ini, jika gelang kaki wanita saja dilarang untuk digetarkan sehingga terdengar suaranya, maka suara wanita lebih layak dilarang karena lebih merdu dibanding suara gelang.
Namun dalil ini dibantah oleh para ulama, dan nampak dalil dengan ayat ini tidaklah tepat. Karena yang dilarang dari seorang wanita pada ayat diatas adalah pada perbuatannya yang memamerkan perhiasannya. Jika dikiaskan dengan suara wanita tentu tidak tepat, karena suara manusia itu termasuk kebutuhan yang sangat penting, keharaman barulah ada apabila mempergunakannya untuk merayu dan mengundang syahwat.

3.    Cara menegur imam bagi makmum yang tidak menggunakan suara.

Dalil lainnya yang digunakan adalah dengan adanya ketentuan bagi makmum wanita yang menegur imam yang keliru, yaitu hanya diperbolehkan menggunakan tepukan tangan. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits ketika Rasulullah n ditanya tentang cara menegur imam yang keliru, beliau menjawab :
مَنْ نَابَهُ شَىْءٌ فِى صَلاَتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ
“Barangsiapa menjadi makmum lalu merasa ada kekeliruan dalam shalat, hendaklah dia membaca tasbih. Karena jika dibacakan tasbih, dia (imam) akan memperhatikannya. Sedangkan tepukan khusus untuk wanita.” (HR. Bukhari no. 7190 dan Muslim no. 421)

Logikanya, jika bukan aurat, tentunya kaum wanita pun juga sama dengan laki-laki, yakni diperbolehkan menggunakan suaranya mengucap subhanallah.
Namun, lagi-lagi alasan ini juga lemah dan penakwilan yang berlebihan, sebab apa yang wanita lakukan dengan bertepuk tangan ketika meluruskan kekeliruan imam, itu adalah sebuah aturan baku yang ada dalam shalat yang sifatnya ta’abudiyah, yang tidak ada kaitannya dengan aurat atau bukan.

Suara wanita menurut pendapat yang shahih bukanlah aurat, karena itu tentunya tidak mengapa bila seorang wanita berkata-kata dengan siapapun dengan perkataan yang baik. Namun, untuk berbicara dengan lelaki asing maka hendaknya tidak berkata-kata dengan intonasi yang menyerupai desahan, yang akan mengundang fitnah dan keburukan.

Demikian Dalil Hukum Suara wanita ( perempuan ) bukan Aurat menurut AL-Quran dan Hadits, semoga bermanfaat bagi kita semua

Baca Juga Artikel

Ciri-Ciri Golongan Wanita Penghuni Neraka Dan Sebab Banyak Wanita Masuk Neraka
Tanda Ciri-Ciri Perilaku Istri Durhaka Kepada Suami dan bentuk kedurhakaan Istri 
Dalil hukum bolehkah wanita haid masuk masjid ikut pengajian ? 
Dalil Hukum Suara wanita ( perempuan ) bukan Aurat menurut AL-Quran dan Hadits 
Kemuliaan Wanita dan Keistimewaan Keutamaan Perempuan Menurut Al Quran Hadits 
Kisah Sejarah Biografi Ummul Mukminin dan Nama istri-istri Nabi Muhammad Rasulullah SAW