Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PENTINGNYA BERGURU KEPADA MURSYID DAN CIRI-CIRI GURU MURSYID KAMIL MUKAMMIL

Pentingya-berguru-kepada-Mursyid-dan-ciri-ciri-Guru-Mursyid-kamil-mukammil
PENTINGNYA BERGURU KEPADA MURSYID DAN CIRI-CIRI GURU MURSYID KAMIL MUKAMMIL    Pentingya-berguru-kepada-Mursyid-dan-ciri-ciri-Guru-Mursyid-kamil-mukammil

Pentingnya berguru kepada Mursyid kamil mukammil - Mursyid kamil mukammil adalah seorang mursyid yang sudah sempurna dalam wushulnya kepada Allah dan dapat menyempurnakan muridnya untuk juga wushul kepada Allah. Mursyid kamil mukammil pastilah seorang waliyullah, tetapi sebaliknya, seorang waliyullah belum tentu seorang mursyid.

Karena seorang mursyid mempunyai otoritas mematrikan/ menghunjamkan kalimah dzikir laa ilaaha illallah ke dalam qolbu seorang murid untuk mensucikan qolbunya  Dzikir sebagai biji iman yang siap dicangkul, dipupuk, dirawat, disirami sampai tumbuh dan berkembang yang akhirnya akan berbuah manisnya
iman.. Perbedaan Mursyid dengan Ulama lain sangat erat hubungannya dengan pembagian ilmu (zahir dan batin). Pertama, seorang Mursyid menguasai kedua ilmu tersebut (ilmu zhahir adalah fiqih, ilmu batin adalah tasawuf). Sementara Ulama biasa (bukan Mursyid) hanya menguasai ilmu zahir saja.

Kedua, seorang Mursyid akan mendapatkan bimbingan dari ruhani Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam. Sementara Ulama selainnya tidak mendapatkan bimbingan ruhaniah.
Selain Mursyid (Ulama yang tidak menguasai keahlian ilmu zahir dan batin) tidak memiliki ajaran yang kaffah (totalitas). Seorang Mursyid akan menguasai dan memahami ajaran Islam, kemudian membimbingkannya kepada murid/umat.

Karena menguasai kedua ilmu tersebut maka ia akan mendapatkan cahaya bimbingan ruhani Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam. Disebut juga dengan ilmu laduni, artinya ilmu yang datang dari sisi Allah (bukan hanya dari buku/kitab). Keilmuannya memiliki sambungan kepada Allah melalui Mursyid-mursyid sebelumnya.

Diibaratkan seseorang yang membutuhkan air jernih dan bersih yang bersumber di daerah pegunungan yang tinggi. Meski lokasi sumbernya jauh, dengan menggunakan pipa paralon yang disambung-sambung airnya akan mengucur (mengalir) ke tempatnya. Air akan sampai jika pipanya menyambung. Air jernih (steril) tersebut ibarat ilmu Allah yang datang dari sisi-Nya. Pipa air yang sambung menyambung tadi diibaratkan silsilah (mata rantai) para Mursyid.

Ilmu yang mendapatkan bimbingan ruhani Rasulullah itu hakikatnya berasal dari Allah. Dan Allah tidak henti-henti memberikan ilmu kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Sejalan dengan firman Allah:

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Yu’til hikmata may yasyaa wamay yu’til hikmata faqod uutiya khoyron katsiiroo. Wamaa yadz-dzakkaru illaa Ulul albaab. Allah akan memberi hikmah kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang diberi hikmah maka sungguh telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidaklah mendapatkan pelajaran kecuali Ulul Albab.[2] (Q.s. Al Baqarah: 269)

Ilmu hikmah adalah kumpulan ilmu zahir dan batin. Secara zahir ayat Al Quran memang tidak bertambah atau berkurang, tapi dari sisi kedalaman maknanya tidak akan terukur dan berakhir.
Ilmu hikmah yang diterima Mursyid itu senantiasa baru dan tidak ada yang usang. Berbeda dengan ilmu zahir yang memiliki kadaluarsa.

Salah satu ciri Ilmu hikmah yang diterima seorang Mursyid, akan membuat pikiran terbuka dan hati akan menyambung kepada Allah. Lain halnya dengan seorang mubaligh yang tidak memiliki ilmu hikmah, ucapannya tidak akan membekas di hati pendengar. Guru mursyid sangat diperlukan oleh setiap manusia dalam perjalanan hati atau rohani menuju taqwa. Ia dapat memimpin di bidang ilmu, akal atau hati, yang lahir maupun yang batin dan dalam semua hal sehingga hidup manusia dapat tertuju kepada Allah. Guru mursyid dianugerahkan Allah ilmu-ilmu yang luar biasa. Ada ilmu lahir, ada ilmu batin.

Bukan saja dia dapat memimpin akal, tetapi terutama dia memimpin hati (roh) manusia. Walaupun mursyid itu seorang yang tidak hafal Qur’an dan hadis. Sebab itu bagaimana hebat, alim seseorang itu, dia mesti ada seorang guru mursyid yang memimpin perjalanan hati dia menuju Allah.
Setiap orang wajib ada mursyid yang memimpin dirinya, baik dia ulama atau tidak, hafiz atau tidak, pakar Islam atau tidak, mualim atau tidak, profesor Islam atau bukan, kalau tidak maka setan yang akan menjadi guru yang memimpin perjalanan hatinya.

Imam Malik pernah berkata : ‘Barang siapa yang tidak mempunyai guru mursyid maka setanlah yang akan menjadi gurunya’
Mursyid itu susah dicari. Apalagi di zaman sekarang yang sudah jauh dari zaman Rasulullah. Orang yang jadi mursyid hanya dalam hitungan jari saja. Sebab itu mursyid kurang popular dan jarang disebut dalam kehidupan sehari-hari. Sebab itu pimpinan sudah tidak wujud lagi di kalangan umat Islam hari ini. Maka mereka berjuang dengan main-main akal, beribadah sesuka hati, bertindak sembrono, tidak diukur secara ilmu lagi.

Dalam ajaran Islam ini, ada ilmu yang datang dari akal, dan ada yang dari hati; ada lahir ada batin; ada yang tersurat dan ada yang tersirat. Kalau seseorang itu diberi ilmu yang tersurat, belum tentu dia akan diberi ilmu yang tersirat. Bukan semua muhaddisin akan diberi ilmu-ilmu hati. Oleh itu, walau ulama pakar sekalipun, mesti ada guru yang memimpinnya.


Di sinilah banyak orang salah faham, terutama para ulama. Hati mereka berkata, “Saya sudah jadi ulama, alim, sudah mengajar profesor, sudah menjadi dosen, mengapa perlu pimpinan? Saya boleh pimpin diri saya sendiri. Buat apa bersandar pada orang lain?” Sebab mereka merasa mereka banyak ilmu dan dapat pimpin diri sendiri. Lebih-lebih lagi mereka tidak mau dipimpin oleh guru yang mursyid. Orang yang boleh memimpin ataupun mursyid, hanyalah orang yang pintu hatinya terbuka, yaitu yang mempunyai basyirah. Bukan sekedar akal saja terbuka. Banyak orang yang akalnya terbuka, hingga dapat menangkap ilmu, tetapi orang yang hatinya terbuka.

Mursyid itu ialah orang yang hatinya terbuka luas dan dapat memimpin orang lain. Dia tidak semestinya lebih alim daripada orang yang dipimpinnya. Tetapi dia dianugerahkan ilmu ilmu hikmah dan ilmu yang seni-seni. Jadi setiap orang mesti mencari seorang guru mursyid untuk memimpin dirinya walaupun dia alim. Setelah dia bertemu dengan guru mursyid yang layak, maka lahir dan batinnya perlu diserah kepada guru mursyid. Bagaimanakah ciri ulama atau guru yang dapat diambil sebagai guru mursyid.

Setiap Mursyid yang ada pada thariqat dimanapun juga dapat dijadikan sandaran untuk berabithah, namun yang lebih utama adalah mempunyai kriteria atau ciri-ciri seperti yang diisyaratkan Al-Quran dan Al-Hadits, yakni:

1.Adanya istikhlaf, pemandatan kekhalifahan (kepemimpinan) secara pemilihan melalui proses Ilahiyah, bukan berdasarkan proses demokrasi, yakni pengangkatan dari seluruh jama'ah. Tegasnya, kebijakan dari Atas ke bawah, bukan dari bawah ke atas.

Prosesnya menyerupai seorang Presiden diangkat oleh Gabenor dengan Timbalan Presiden. Pengangkatan kepemimpinan yang didasari kehendak manusia mempunyai segudang kelemahan, dan penggunaan suara terbanyak dalam menentukan suatu kepemimpinan tidak boleh menjamin datangnya rahmat dan keridhaan Allah, sebab nilai-nilai kebenaran bukanlah ditentukan dengan jumlah yang terbesar/terbanyak.

"Kemudian Kami wariskan kitab itu kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar". (QS. Fathir[35]: 32)

Sabda Nabi SAW:

"Para Ulama itu adalah pewaris para Nabi". Kalimat Ulama di sini menunjukkan ketentuan (dengan isyarat Alif Lam ma'rifah), bahwa tidak semua Ulama itu adalah Pewaris para Nabi As. Ketentuannya diterangkan lebih lanjut dalam uraian berikutnya.

2.Ada nasab. Sungguhpun demikian tidak mutlak kepada Nasab. Jejak kenasaban itu sendiri dalam genggaman kekuasaan Allah, tidak semua mengetahui jaringan kenasaban sehingga terkadang dirinya sendiri tidak mengetahuinya.

Tidak tiap-tiap nasab (habaib) diwarisi kemursyidan, yang punya sidiq amalnya, lurus, teliti, teguh amalnya. Ditonjolkan perihal kenasaban ini memiliki dua dampak (positif dan negatif). Sehingga Allah-lah yang mengetahui siapa yang berhak memangku kemursyidan, dan pada dasarnya setiap insan mempunyai darah (nasab) kenabian (Adam As).

Firman Allah dalam Surat Hud[11]: 73:

"(Itu adalah) rahmat Allah dan keberkahan-Nya, dicurahkan atas kamu, wahai Ahlul bait! Sesungguhnya Allah Teramat Terpuji lagi Pemurah".

Keluarga Nabi oleh Allah SWT diberikan limpahan keberkahan dan keselamatan, kerana dalam setiap selawat kita dianjurkan mengucapkannya. Begitu pulalah kita lantunkan dalam setiap solat ketika tasyahud akhir:

"Yaa Allah berikan limpahan selawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah berikan itu semua kepada Nabi Ibrahim beserta keluarganya".

Catatan: Tidak mutlak mengedepankan nilai kenasaban sebagai jaminan ketaqwaan kerana secara sejarahnya kedudukan nasab tidak menjamin ketaatan seseorang kepada Allah & Rasul-Nya. Dalam Al-Quran Allah mengingatkan Nabi Nuh tentang anaknya:

‘Wahai Nuh! Mereka bukanlah sebahagian keluargamu (Yaa Nuuh, innahuu laysa min Ahlik)'. (QS. Hud[11]: 46)

3.Kebijakan-kebijakannya senantiasa berpijak kepada Sunah Rasul dan para sahabatnya, serta orang-orang yang saleh lagi sidiq (benar). Dan juga tidak mencampurkan yang haq dengan yang batil. Sesuai firman Allah:

"Dan janganlah engkau mencampurkan yang haq dengan yang batil, dan janganlah engkau menyembunyikan yang haq itu, sedangkan engkau mengetahuinya". (QS. Al-Baqarah[2]: 42)

4.Landasan penentuan hukum berpijak pada aturan yang telah ditetapkan Allah & Rasul-Nya. Ketegasan dalam penyampaian hukum akan memperjelas posisi haram dan halal bagi umat.

Seorang Mursyid dapat menunjukkan di mana posisi hukum suatu permasalahan sesuai perkembangan masa berdasarkan ruh perintah dan larangan Allah SWT. Sebagai contoh keberadaan rokok, bunga bank, jual beli uang, jual beli air, dsb. yang pada masa dahulu belum ada.

Watak kebijakan seorang Mursyid harus bersifat menyeluruh dalam menentukan suatu hukum. Kerangka berfikir dan tindakannya selaras dengan Kehendak Allah, serta tidak berdiri pada (baca: mengutamakan) suatu pihak/golongan tertentu, meskipun ia ada di pihaknya.

5.Harus memiliki rasa keberpihakan terhadap sifat-sifat Ilahiyah, di antarnya: Arif dan bijaksana. Pengertian Arif di sini memiliki wawasan/pandangan yang luas dan jauh ke depan dalam memahami berbagai makna kehidupan, baik orang-orang terdahulu maupun yang kemudian.


Tidak ubahnya mendekati sifat-sifat kenabian. Adapun sifat-sifat bijaksana itu selalu memahami kemajmukan (heterogen)nya tingkat keberadaan manusia. Di antaranya terhadap orang-orang yang berada dalam kekafiran dan kefasikan serta orang-orang yang berdosa. Ia harus betul-betul memahami sebab musabab mereka bersikap/berperilaku seperti yang demikian itu, sehingga tidak ada sikap kebencian yang muncul dalam hati Mursyid tersebut terhadap mereka.

6.Mencerminkan pribadi-pribadi yang bersikap pema'af dan bersabar menerima fitnah/ujian dari orang-orang yang memfitnah atau merendahkan dirinya. Hal demikian telah diajarkan oleh para Nabi/Rasul terdahulu, yang banyak mengalami tantangan dan ujian dalam melaksanakan tugas dakwahnya.

7 Dalam setiap memberikan bimbingan, pengajaran atau fatwa-fatwa perintah, senantiasa kebijakannya itu tidak pernah memaksakan kepada siapapun. Kerana pada dasarnya setiap manusia dijadikan oleh Allah sebagai Khalifah atau dalam pengertian lain adalah sebagai pemimpin atas dirinya masing-masing.

Di mana seorang pemimpin itu mempunyai hak kemerdekaan/kebebasan atau hak veto untuk menyatakan ‘ya' atau ‘tidak', ‘iman' atau ‘kafir', ‘tunduk' atau ‘menentang/menolak'. Kesifatan-kesifatan ini begitu kental ditetapkan oleh Allah kepada manusia, yakni tidak ada paksaan dalam agama sehingga hal itu merupakan bagian hak-hak asasi setiap manusia. Maka sesuai dengan firman-Nya:

"Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir".
(QS. Al-Kahfi[18]: 29)
Inilah kebijakan Ilahiyah yang tertuang di dalam Al-Quran yang dipedomani sebagai karakteristik sebagai sifat-sifat kenabian.

8.Tidak merasakan takut dalam menyampaikan yang hak kepada orang lain, meskipun pahit bagi dirinya dan yang mendengarkannya.ٍ Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW:

"Katakanlah yang benar walaupun pahit".

"Dan janganlah engkau mencampuradukkan yang haq dan batil serta menyembunyikan yang haq itu, sedangkan engkau mengetahuinya". (QS. Al-Baqarah[2]: 42)
Itulah ciri-ciri kemursyidan/kewalian yang disifatkan Allah dalam Al-Quran:

"Ketahuilah, sesungguhnya para Wali (kekasih) Allah itu tiada sedih dan berduka cita (terhadap selain Allah). (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka yang selalu bertaqwa. Mereka mendapatkan kabar baik di kehidupan dunia maupun di akhirat. Tiadalah ketetapan Allah itu berubah". (QS. Yunus[10]: 62-63)

9.Terjaga dalam sikap kehati-hatian (wara') tentang manfaat dan mudharatnya dunia, sebab firman-Nya mengatakan:

"Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan". (QS. Ali Imran[3]: 185)

Dikatakan dunia itu menipu kerana kebaikan dan keburukan dunia itu tidak tampak untuk membezakannya:

"Katakanlah, Tidak tampak perbezaan antara keburukan dan kebaikan". (QS. Al-Maidah[3]: 100)

10. Menata kesinambungan keseimbangan (tawazun) dunia dan ukhrawi. Keduanya memiliki kepentingan masing-masing yang saling terkait. Menjalani keduanya sesuai dengan sistem yang berlaku.

Maka jika terjadi ketidaksinambungan/ketidakseimbangan pada seorang murid dalam satu sisi kehidupan, maka akan diarahkan pada posisi yang lebih sesuai dengan kemampuannya.

11. Tidak bersikap komersil atau menentukan bayaran dalam menjalankan dakwahnya, yakni bersikap Zuhud. Firman Allah SWT:

"Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk". (QS. Yaasin[36] :21)

12. Bersikap peduli menjaga hubungan baik kepada orang-orang yang berbeda agama/kepercayaan. Firman Allah SWT mengatakan:

"Tolaklah dengan cara yang lebih baik akan kejahatan itu, maka mendadaklah orang yang mempunyai permusuhan denganmu menjadi dekat denganmu sebagai sahabat karib. Dan tidaklah dapat melakukannya kecuali orang yang sabar dan tidak dapat mencapainya kecuali orang yang mempunyai nasib yang baik (keuntungan yang besar)". (QS. Fushshilat[41]: 34)

13. Bersifat Murobbi Ruh. Seorang Mursyid membimbing muridnya di manapun mereka berada, walaupun ia telah dipisahkan dengan alam yang berbeza. Kerana Allah menyatakan:

"Dan janganlah engkau katakan bahwa hamba-hamba yang terbunuh di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup. Tetapi tidaklah engkau menyedarinya". (QS. Al-Baqarah[2]: 153)
Dalam ayat lain dikatakan: "Bahkan mereka itu hidup, di sisi Tuhannya mereka diberi rezeki". (QS. Ali Imran[3]: 169)

Predikat Murobbi Ruh ini biasanya melahirkan bukti-bukti yang kuat, dan dialami oleh setiap muridnya, baik disedari maupun tidak.

14. Keberhasilan lahiriyyah bukanlah merupakan tujuan pokok, di antaranya banyak ataupun sedikit yang menjadi pengikutnya bahkan mungkin tidak dipercaya oleh umatnya/kaumnya, maka tidak gugur kemursyidannya, menang atau berjaya tidaknya dari kesewenangan pihak musuh/kafir dan yang fasik.

Tak ubahnya dengan kenyataan dialami 25 Nabi dan Rasul terlebih dahulu, seperti Nabi Ayub, Nabi Yunus, Nabi Yahya, Nabi Isa, Nabi Ibrahim, dsb. Dan yang berhasil di antaranya adalah: Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Muhammad.

Demikianlah sepak terjang para Nabi dan para Rasul, dan begitu pula para Mursyid yang jika tidak diikuti oleh kaumnya, tidak gugur kemursyidannya, yang gugur adalah tugasnya dalam menyampaikan. Itulah tanda-tanda kenabian dan kemursyidan, yang memiliki ciri khas yang serupa, yang kedudukannya hanya sebagai pemberi kabar.

"Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah sekedar menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas". (QS. Yasin[36]: 17)

Sesungguhnya kedudukan seorang Mursyid yang dimaksud dalam Al-Quran & Al-Hadits di samping sebagai pemberi petunjuk adalah mempunyai posisi sebagai pembaharu (Mujaddid), yakni sebagai pemberi solusi terhadap berbagai persoalan umat di setiap masa.

Sabda Nabi SAW:

"Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla akan membangkitkan seseorang bagi umat Islam ini pada setiap 100 tahun yang memperbaharui agama". (HR. Abu Daud & Hakim, dari Abu Hurairah).

"Hendaklah engkau berpijak atas Sunnahku dan sunnah Khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk dan hidayah (setelahku), peganglah kuat-kuat atasnya dan gigitlah dengan gigi gerahammu (biar tidak lepas)". (HR. Tarmidzi)

"Allah menganugerahkan Al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Quran dan As-Sunnah) kepada siapa-siapa yang Dia kehendaki". (QS. Al-Baqarah[2]: 269)

Seorang Mujaddid diberikan hikmah (ilmu laduni) oleh Allah SWT melalui pengajaran-Nya (At-Ta'allumur Robbaniyyah)


Baca Artikel Lainnya

PENTINGNYA BERGURU KEPADA MURSYID DAN CIRI-CIRI GURU MURSYID KAMIL MUKAMMIL

DALIL HADITS DZIKIR JAHR SECARA KERAS DAN KEUTAMAAN MANFAAT DZIKIR JAHAR

RIWAYAT KISAH MANAQIB KAROMAH SYEKH ABDUL QODIR JAELANI