Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dalil Hukum Puasa Bulan Rajab dan Keutamaan Keistimewaan bulan Rajab

Dalil-Hukum-Puasa-Bulan-Rajab-dan-Keutamaan-Keistimewaan-bulan-Rajab
Dalil Hukum Puasa Bulan Rajab dan Keutamaan Keistimewaan bulan Rajab  Dalil-Hukum-Puasa-Bulan-Rajab-dan-Keutamaan-Keistimewaan-bulan-Rajab

Bulan Rajab salah satu bulan haram (suci) yang mulia. Bulan Rajab merupakan salah satu dari empat bulan haram yang Allah muliakan. Allah berfirman,

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menzhalimi (menganiaya) diri kalian dalam bulan yang empat itu.” [at-Taubah: 36]

Nabi bersabda,

إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللّٰهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

“Sesungguhnya zaman telah berputar kembali seperti hari Allah menciptakan langit dan bumi. Dalam setahun ada dua belas bulan, di antaranya ada 4 bulan haram. Tiga bulan berturut-turut, yaitu: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan (satu lagi) Rajab–nya suku Mudhar, yakni bulan yang terletak antara Jumadal Akhir dan Sya’ban.” (Muttafaqun ‘alahi, dari shahabat Abu Bakrah)

masalah puasa di bulan Rajab itu bukan masalah yang disepakati kebid'ahannya  kita perhatikan pendapat dari dari 4 Madzhab yaitu Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki  , Madzhab Syafi`i ,Madzhab Hanbali

Madzhab Hanafi

Yang disukai dari puasa-puasa ada beberapa macam, yang pertama adalah puasa Al Muharram, kedua puasa Rajab dan ke tiga adalah puasa Sya’ban dan puasa Asyura’ (Al Fatawa Al Hindiyah, 1/202)

Posisi madzhab Hanafi cukup jelas, bahwasannya mereka menyatakan bahwa puasa di bulan Rajab secara mutlak adalah perkara yang disukai.

Sebagaimana jika seorang bernadzar untuk berpuasa penuh di bulan Rajab, maka ia wajib berpuasa sebulan penuh dengan berpatokan pada hilalnya. (Syarh Fath Al Qadir, 2/391)

Madzhab Maliki

Al Lakhmi menyatakan bahwa bulan-bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah Ramadhan adalah tiga, yakni Al Muharram, Rajab dan Sya’ban. (Al Mawahib Al Jalil, hal. 319)

Ad Dardir menyatatakan bahwasannya disunnahkan puasa bulan Al Muharram, Rajab dan Sya’ban, demikian juga di empat bulan haram yang dimana paling utama adalah Al Muharram kemudian Rajab lalu Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. (Syarh Ad Dardir ‘ala Khalil, 1/513)

Dengan demikian, Madzhab Al Maliki berndapat mengenai kesunnahan puasa di bulan Rajab secara mutlak, meski dengan sebulan penuh.

Madzhab Syafi`i

Ulama Madzhab Asy Syafi’i mensunnahkan puasa di bulan Rajab, dimana Imam An Nawawi berkata,”Telah berkata ashabuna: Dari puasa yang disunnahkan adalah puasa di bulan-bulan haram, yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Al Muharram dan Rajab.” (Al Majmu’, 6/438)

Hal serupa disampaikan di Imam An Nawawi dalam kitab yang lain (lihat, Raudhah Ath Thalibin, 2/254).

Ibnu Hajar Al Haitami juga menyatakan,”Dan disunnahkan (puasa) di bulan-bulan haram, bahkan ia adalah seutama-utamanya bulan untuk berpuasa setelah Ramadhan, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Al Muharram dan Rajab.” (Minhaj Al Qawim dengan Hasyiyah At Tarmasi, 5/804,805)

Dengan demikian, bisa dismpulkan bahwa Madzhab Asy Syafi’i mensunnahkan puasa Rajab secara mutlak, tanpa memandang bahwa amalan itu dilakukan di sebagian bulan Rajab atau di seluruh hari-harinya.

Imam Asy Syafi’i dalam pendapat qadim menyatakan makruh menyempurnakan puasa satu bulan di selain bulan Ramadhan, agar tidak ada orang jahil yang meniru dan mengira bahwa puasa itu diwajibkan, karena yang diwajibkan hanyalah puasa Ramadhan. Namun ketika unsur itu hilang, Imam Asy Asyafi’i menyatakan,”jika ia mengerjakan maka hal itu baik.” (Fadhail Al Auqat, 28)

Madzhab Hanbali

Al Buhuti menyatakan bahwa mengkhususkan puasa di bulan Rajab hukumya makruh. Namun Al Buhuti melanjutkan,”Dan hilang kemakruhan dengan berbuka meskipun hanya sehari, atau berpuasa pada bulan lain di tahun itu.” (Kasyf Al Qina’, hal. 1003)

Hal yang sama disampaikan Ibnu Rajab Al Hanbali, bahwa kemakruhan puasa di bulan Rajab hilang dengan tidak berpuasa penuh di bulan Rajab atau berpuasa penuh dengan menambah puasa sebulan di bulan lainnya di tahun itu. Sedangkan Imam Ahmad menyatakan tidak berpuasa Rajab secara penuh kecuali bagi yang berpuasa terus-menerus. (Lathaif Al Ma’arif, hal. 230)

Dengan demikian, madzhab Hanbali hanya memandang makruh bagi yang mengkhususkan Rajab untuk berpuasa sebulan penuh, namun ketika hal itu dilakukan tidak penuh di bulan itu, atau berpuasa penuh namun dengan berpuasa sebulan di bulan lain maka hilanglah unsur kemakruhan.

Bisa disimpulkan bahwa semua madzhab di atas sepakat mengenai dibolehkannya puasa bulan Rajab secara tidak penuh. Khilaf yang terjadi adalah berpuasa penuh di bulan Rajab tanpa disertai dengan puasa lainnya. Dan khilaf yang terjadi berkisar antara hukum sunnah dengan makruh, bukan haram.

Setelah posisi para ulama madzhab empat jelas bagi kita, bahwa hal ini adalah masalah khilafiyah yang mu’tabar, dimana berlaku kaidah yang menyatakan bahwasannya masalah ikhfilaf tidak boleh diinkari.

Para ulama juga masih berbeda pendapat tentang hukum berpuasa di bulan Rajab. Sebagian kalangan menetapkan bahwa hukumnya sunnah, sebagian lagi bilang makruh dan ada juga yang bilang haram atau bid'ah. Berikut ini petikan fatwa-fatwa mereka yang berbeda-beda.

1. Bid'ah

Ada beberapa fatwa dari para ulama khalaf (kontemporer) yang mengatakan bahwa puasa di bulan Rajab hukumnya bid'ah. Diantaranya fatwa Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan juga Syeikh Shalif Fauzan. Kebanyakan dari mereka inilah berbagai situs dan tulisan di internet yang membid'ahkan puasa Rajab itu mengambil sumber tulisan.

Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (w. 1420 H) ketika ditanya terkait dengan berpuasa pada tanggal 8 dan 27 Rajab menjawab di dalam kitabnya Fatawa Nurun 'ala Ad-Darbi sebagai berikut :
تخصيص هذه الأيام بالصوم بدعة فما كان النبي صلى الله عليه وسلم يصوم يوم الثامن والسابع والعشرين ولا أمر به ولا أقره فيكون من البدع
Mengkhususkan hari-hari itu dengan puasa adalah bid'ah. Nabi SAW tidak pernah berpuasa pada tanggal 8 dan 27 Rajab, tidak memerintahkannya dan tidak mentaqrirnya. Maka hukumnya bid'ah. [1]

Ibnu Utsaimin (w. 1421 H) ketika ditanya tentang hukum puasa pada tanggal 27 Rajab dan shalat sunnah di malam harinya, beliau pun menjawab sebagaimana yang tertuang di dalam kitabnya Majmu' Fatawa wa Rasail Fadhilatusysyeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin sebagai berikut :

صيام اليوم السابع العشرين من رجب وقيام ليلته وتخصيص ذلك بدعة وكل بدعة ضلالة .
Puasa pada hari ke 27 bulan Rajab dan bangun malam dan mengkhususkan hal itu adalah bid'ah. Dan setiap bid'ah itu sesat.[2]

Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan di dalam kitab Majmu' Fatawa Fadhilatusysyeikh Shalih bin Fauzan menuliskan sebagai berikut :
شهر رجب لم يثبت فيه شيء من العبادات خاص، لا صيام ولا صلاة ولا عمرة، ولا شيء خاص بشهر رجب، والذين يخصونه بعبادات؛ هؤلاء هم المبتدعة
Tidak ada landasan kuat untuk ibadah khusus di Bulan Rajab, tidak itu puasa, shalat ataupun umrah. Tidak ada yang khusus dengan bulan Rajab. Mereka yang mengkhususkan bulan Rajab dengan ibadah adalah tukang bid'ah. [3]

2. Makruh

Pendapat kedua hukumnya adalah makruh, yaitu pendapat dari sebagain para ulama salaf, khususnya mazhab Al-Hanabilah. Dalam hal ini fatwa kemakruhannya terwakili oleh ulama mazhab ini, seperti Ibnu Qudamah dan Al-Mardawi.

Ibnu Qudamah (w. 620 H) salah satu ulama rujukan dalam mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan sebagai berikut :

فصل - إفراد رجب بالصوم : ويكره إفراد رجب بالصوم قال أحمد: وإن صامه رجل، أفطر فيه يوما أو أياما، بقدر ما لا يصومه كله. ووجه ذلك، ما روى أحمد، بإسناده عن خرشة بن الحر، قال: رأيت عمر يضرب أكف المترجبين، حتى يضعوها في الطعام. ويقول: كلوا، فإنما هو شهر كانت تعظمه الجاهلية

Pasal Mengkhususkan Rajab Untuk Puasa : Dan dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab untuk berpuasa. Imam Ahmad berkata bahwa kalau mau seseorang berpuasa sehari dan tidak puasa sehari tetapi jangan puasa sebulan. Dasarnya adalah hadits riwayat Ahmad dari Kharsayah bin Al-Hurri, dia berkata,"Aku melihat Umar memukul telapak tangan orang yang mutarajjibin (puasa di bulan Rajab) sambil berkata,"Makanlah". Karena bulan Rajab itu bulan yang diagungkan oleh orang Jahiliyah [4]

Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama dalam mazhab Al-Hanabilah menuliskan dalam kitabnya Al-Inshaf sebagai berikut :

قوله (ويكره إفراد رجب بالصوم) هذا المذهب وعليه الأصحاب
Pendapatnya mengkhususkan puasa Rajab (sebulan penuh) hukumnya makruh. Itulah pendapat mazhab dan para pendukungnya.[5]

3. Sunnah

Sebagian besar ulama (jumhur) di luar mazhab Al-Hanabilah umumnya justru menghukumi sunnah berpuasa pada bulan Rajab. Walaupun dari sisi hadits-hadits yang tersedia banyak yang dianggap dhaif. Namun manhaj salaf yang asli dari umat ini jelas sekali, yaitu hadits shahih masih bisa dijadikan sumber rujukan, khususnya untuk fadhailul-a'mal (keutamaan).

Setidaknya jumhur ulama punya dua hujjah. Pertama, adanya hadits yang menganjurkan untuk berpuasa sunnah. Kedua, adanya hadits yang menganjurkan untuk puasa pada bulan-bulan haram (mulia). Rasulullah SAW bersabda kepada Abdullah bin Harits yang bertanya kepada beliau SAW tentang puasa sunnah.

صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَثَلاثَةَ أَيَّامٍ بَعْدَهُ وَصُمْ أَشْهُرَ الْحُرُمِ

Berpuasalah kamu di bulan kesabaran (Ramadhan), kemudian berpuasalah 3 hari setelahnya, dan kemudian puasalah pada bulan-bulan haram”. (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasa'i dan Ibnu Majah)

Bulan-bulan haram itu adalah Dzul-Qa'dah, Dzulhijjah, Muharram dan bulan Rajab yang menyendiri. Tetapi jelas sekali bahwa Rajab termasuk salah satu di antara empat bulan haram. Sehingga dasar berpuasa di bulan Rajab adalah hadits shahih di atas.

Adapun para ulama yang membolehkan atau malah menyunnahkan puasa di bulan Rajab antara lain Ibnu Shalah, Al-Izz Ibnu Abdissalam, As-Sututhi, Ibnu Hajar Al-Haitsami, Ash-Shawi, dan juga Asy-Syaukani serta masih banyak lagi yang lainnya. Mari kita lihat fatwa mereka dengan adil :

Ibnu Shalah (w. 643 H), yang juga salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi’iyyah menuliskan dalam fatwanya, Fatawa Ibnu Shalah sebagai berikut :

لا إثم عليه في ذلك ولم يؤثمه بذلك أحد من علماء الأمة فيما نعلمه بلى قال بعض حفاظ الحديث لم يثبت في فضل صوم رجب حديث أي فضل خاص وهذا لا يوجب زهدا في صومه فيما ورد من النصوص في فضل الصوم مطلقا والحديث الوارد في كتاب السنن لأبي داود وغيره في صوم الأشهر الحرم كاف في الترغيب في صومه وأما الحديث في تسعير جهنم لصوامه فغير صحيح ولا تحل روايته والله أعلم

Tidak berdosa bagi yang berpuasa Rajab, dan tidak ada satupun ulama umat ini yang mengatakan ia berdosa dari yang kami tahu. Ya memang benar banyak ahli hadits yang mengatakan hadits-hadits rajab –secara khusus- tidak shahih. Dan ini tidak menjadikan puasa Rajab itu terlarang, karena adanya dalil-dalilnya anjuran puasa secara mutlak, dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dadud dalam kitab Sunan-nya juga ulama lain dalam anjuran puasa pada bulan Rajab, dan itu cukup untuk memotivasi umat ini untuk puasa Rajab. Sedangkan hadits nyalanya api neraka Jahannam untuk mereka yang sering berpuasa Rajab, itu hadits yang tidak shahih, dan tidak dihalalkan meriwayatkannya. Wallahu a’lam.[6]

Al-'Izz ibnu Abdissalam (w. 660 H) juga punya pendapat yang dikutip oleh Ibnu Hajar Al-Haitsami, dimana beliau berfatwa sebagai berikut :

والذي نهى عن صومه جاهل بمأخذ أحكام الشرع وكيف يكون منهيا عنه مع أن العلماء الذين دونوا الشريعة لم يذكر أحد منهم اندراجه فيما يكره صومه

Orang yang melarang puasa Rajab itu jahil dari sumber-sumber hukum syariah. Bagaimana bisa puasa rajab diharamkan, sedangkan para ulama yang men-tadwin-kan syariah ini tidak satu pun dari mereka yang membenci puasa rajab tersebut. [7]

Nampaknya fatwa beliau juga senada, yaitu tindakan melarang orang berpuasa pada bulan Rajab adalah kebodohan, karena tidak ada ulama yang melarang itu.

As-Suyuthi (w. 911 H) ketika menjelaskan hadits-hadits terkait dengan puasa bulan Rajab, beliau menyimpulkan bahwa hadits-hadits itu bukan hadits palsu, melainkan sekedar dhaif. Dan tetap dibolehkan periwayatannya untuk keutamaan amal. Beliau menuliskan dalam fatwanya itu pada kitab Al-Hawi lil Fatawa sebagai berikut :

ليست هذه الأحاديث بموضوعة، بل هي من قسم الضعيف الذي تجوز روايته في الفضائل
Semua hadits ini bukan palsu (maudhu'), melainkan termasuk lemah (dhaif) yang dibolehkan periwayatannya untuk keutamaan (fadhail).[8]

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H) dalam fatwanya yang terkumpul dalam kitab Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra menuliskan sebagai berikut

أني قدمت لكم في ذلك ما فيه كفاية، وأما استمرار هذا الفقيه على نهي الناس عن صوم رجب فهو جهل منه وجزاف على هذه الشريعة المطهرة فإن لم يرجع عن ذلك وإلا وجب على حكام الشريعة المطهرة زجره وتعزيره التعزير البليغ المانع له ولأمثاله من المجازفة في دين الله تعالى

Sudah saya jelaskan tentang kesunahan puasa Rajab, dan itu sudah cukup. Adapun tindakan 'ahli fiqih' ini yang terus menerus melarang orang-orang untuk puasa Rajab, itu adalah sebuah kebodohan dan bentuk pengacak-acakan terhadap syariah yang suci ini. kalau ia tidak merujuk fatwanya tersebut, wajib hukumnya bagi para hakim syariah yang suci ini untuk melarangnya dan memberikan hukuman yang keras baginya dan juga bagi orang-orang semisalnya –yang melarang puasa Rajab- karena mereka semua sudah mengacak-acak agama Allah SWT ini.[9]

Dari fatwanya kita mendaptkan kesan bahwa beliau mengecam keras mereka yang melarang umat untuk berpuasa Rajab. Konon di masa hidupnya, ada beberapa orang yang mengaku ahli agama tetapi melarang-larang puasa Rajab dengan alasan.

Imam Ash-Shawi (w. 1241 H) dari kalangan ulama mazhab Al-Malikiyah dalam kitabnya Bulghatus-Salik ketika menjelaskan tentang puasa-puasa sunnah, beliau memasukkan di dalamnya puasa Rajab.

وصوم رجب : أي فيتأكد صومه أيضا وإن كانت أحاديثه ضعيفة لأنه يعمل بها في فضائل الأعمال
Puasa Rajab: yakni dikuatkan (untuk kesunahan) puasa Rajab juga walaupun hadits-haditsnya dhaif, karena hadits dhaif boleh diamalkan dalam hal fadhail a’mal.[10]

Asy-Syaukani (w. 1250 H) dalam kitabnya Nailul Authar mengomentari hadits-hadits terkait dengan puasa bulan Rajab sebagai berikut :

ظاهر قوله في حديث أسامة إن شعبان شهر يغفل عنه الناس بين رجب ورمضان أنه يستحب صوم رجب

Pemahaman yang dzahir dari hadits Usamah (bin Zayd) di atas adalah bahwa bulan Sya'ban adalah bulan yang banyak dilupakan orang yang letaknya antara bulan Rajab dan Ramadan. Dan bahwa sunnah hukumnya berpuasa pada bulan Rajab.

Keutamaan Keistimewaan bulan Rajab

Keempat bulan tersebut dinyatakan sebagai bulan haram karena kemuliaan dan kehormatannya melebihi bulan-bulan yang lain. Sehingga pada bulan-bulan ini Allah haramkan peperangan, kecuali jika musuh (orang-orang kafir) yang lebih dahulu memulai penyerangan terhadap kaum muslimin.

Dilarang berbuat zhalim

Tentang firman Allah di atas, “Maka janganlah kalian menzhalimi (menganiaya) diri kalian dalam bulan yang empat itu”, Sebagian ulama ahli tafsir menjelaskan bahwa pada dasarnya perbuatan zhalim dan segala bentuk kemaksiatan – kapan  saja dan di mana saja dikerjakan –   merupakan dosa dan kemungkaran yang besar.

Namun ketika Allah mengkhususkan penyebutan larangan berbuat zhalim pada bulan-bulan haram yang empat sebagaimana ayat di atas, menunjukkan bahwa : kezhaliman dan kemaksiatan yang dilakukan pada bulan-bulan haram tersebut dosanya berlipat ganda dibandingkan jika dilakukan pada bulan-bulan yang lain. Berbuat dosa pada hakekatnya adalah perbuatan menzhalimi diri sendiri.

Wajib memuliakan bulan-bulan haram

Wajib atas setiap muslim untuk memuliakan syiar-syiar yang Allah muliakan. Allah berfirman,

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.”  (al-Hajj: 32)

Bulan-bulan haram – di antaranya bulan Rajab – termasuk syiar-syiar Allah yang dihormati dan diagungkan.

Para ulama menyebutkan bahwa amal kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya pada tempat dan waktu yang utama, sebagaimana pula kejahatan dan kemaksiatan akan dilipatgandakan dosanya pada tempat dan waktu yang utama. Maka hendaknya seorang muslim benar-benar waspada dari terjatuh pada kemaksiatan dan dosa setiap waktu dan setiap saat, namun pada bulan-bulan haram lebih ditekankan lagi.

Adapun amalan-amalan di bulan Rajab yang memiliki keutamaan diantaranya adalah puasa. Puasa Rajab memiliki beberapa keutamaan yang dijelaskan dalam hadits nabi:

“sesungguhnya di Surga ada suatu sungai bernama ‘rajab’, warnanya lebih putih dari susu, rasanya lebih manis dari madu. Barang siapa berpuasa sehari dalam bulan Rajab, maka akan diberi minum oleh Allah dari sungai itu.” (H. R. Bukhori Muslim)

Diriwayatkan dari Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“berpuasa pada hari pertama bulan Rajab menghapus dosa selama tiga tahun, berpuasa pada hari kedua menghapus dosa selama dua tahun, berpuasa pada hari ketiga menghapus dosa selama setahun, kemudian untuk setiap harinya selama sebulan.” (H. R. Al Khilal dalam Fadhoil syahrur Rojab)

Kemudian dalam waktu lain, Rasulullah pernah ditanya, “berpuasa pada bulan apakah yang lebih baik selain pada bulan Ramadhan?” beliau menjawab: “berpuasalah pada bulan Allah, yakni bulan yang tuli.” Dalam riwayat lain dikatakan “bulan yang melimpah.”

Abu Ubaid berkata, “maksudnya adalah bulan Rajab karena pada bulan ini Allah melimpahkan rahmatNya. Bulan ini dinamakan bulan yang tuli karena Allah mengharamkan peperangan didalamnya sehingga tidak terdengar pertumpahan darah dan gemuruh suara pedang.”

Diriwayatkan lagi:

Dari Mujibah al Bahiliyah dari ayahnya atau dari pamannya(sudara lelaki dari ayahnya), bahwa ia-ayah atau pamannya itu- mendatangi Rosulullah SAW. Kemudian pergi lagi. Selanjutnya ia mendatangi Rasulullah SAW. Lagi sesudah setahun, tetapi hal ihwal keadaannya telah berubah. Ia lalu berkata: “Ya Rasulullah, apakh tuan tidak mengenal lagi kepada saya?” beliau bertanya: “siapakah engkau?” ia menjawab: “saya adalah al bahili yang datang kepada Tuan tahun yang lalu.” Beliau SAW lalu bertanya: “apakah yang menyebabkan perubahan dirimu, padahal engkau dahulu baik sekali keadaan tubuhnmu?” ia menjawab. “saya tidak pernah makan sesuatu makanan sejak saya berpisah dengan tuan dahulu, melainkan di waktu malam.”

Rasulullah lalu bersabda: “kelau begitu, engkau telah menyiksa dirimu sendiri,” kemudian beliau melanjutkan sabdanya: “berpuasalah dalam bulan sabar (Ramadhan) dan sehari saja dalam bulan-bulan lainnya.” Ia berkata: “tambahkanlah itu untuk saya, sebab sesungguhnya saya masih ada kekuatan lebih dari itu.” Beliau berkata: “berpuasalah dua hari,” ia berkata: “Tambahkanlah,” beliau berkata: “berpuasalah tiga hari,” ia berkata: “tambahkanlah,” beliau saw bersabda: “berpuasalah bulan-bulan mulia yaitu Rajab, Dzul Qo’dah, zulhijjah dan Muharam dan tinggalkanlah, berpuasalah di bulan-bulan mulia dantinggalkanlah, berpuasalah dari bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah.” Beliau berkata demikian dengan menunjukkan tiga buah jari-jarinya lalu mengumpulkannya dan kemudian membukanya. Maksudnya tiga hari puasa, lalu tiga hari tidak dan seterusnya. (H. R. Abu Daud)

Jadi kesimpuannya bahwa puasa bulan Rajab ini memang ada kalangan yang membid'ahkannya. Pendapat ini wajib kita hormati. Namun ada juga yang tidak sampai membid'ahkannya, hanya sebatas makruh saja. Pendapat ini juga wajib kita hormati. Dan jangan lupa, ada juga pendapat yang membolehkan atau malah menyunnahkannya. Pendapat yang terakhir ini pun juga wajib kita hormati.

Tidak perlu ada yang merasa paling pintar dan paling tinggi imannya, apalagi merasa paling benar dan pendapat orang lain yang berbeda tidak perlu dijelek-jelekkan.

Baca Juga Artikel