Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dalil Hukum Shalat Sunnah Rajab , Nishfu Syaban dan Puasa bulan Rajab

Dalil-Hukum-Shalat-Sunnah-Rajab-Nishfu-Syaban-dan-Puasa-bulan-Rajab
Dalil Hukum Shalat Sunnah Rajab , Nishfu Syaban dan Puasa bulan Rajab Dalil-Hukum-Shalat-Sunnah-Rajab-Nishfu-Syaban-dan-Puasa-bulan-Rajab

Perdebatan seputar keutamaan bulan rajab dan keistimewaan puasa bulan rajab masih saja menjadi ngambang dasar hukumnya , antara hukum sunnah, makruh dan bidah. Umat islam menjadi bingung mana yang benar dan harus diambil sebagai dasar hukum Shalat Sunnah Rajab , Nishfu Syaban dan Puasa bulan Rajab

Sebelum membahas Dalil Hukum Shalat Sunnah Rajab , Shalat Nishfu Syaban dan Puasa bulan Rajab, penting bagi kita untuk mengetahui dahulu klasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan cara perolehannya. Dalam hal ini, Ilmu terbagi dua,

1. Ilmu Hushuli :  Yaitu ilmu yang dihasilkan oleh manusia, ilmu pengetahuan itu masuk ke dalam memori akal, itulah yang disebut ilmu lahir atau ilmu rasional.
Ilmu hushuli diibaratkan sebagai cadangan air, ketika kita membuat kolam lalu kita angkut air sungai untuk dimasukkan ke dalam kolam. Warna maupun bau air kolam kita sangat tergantung warna dan bau air sungai tempat kita mengambil air. Air sungai sangat dipengaruhi lingkungannya. Begitu pula ilmu Hushuli.

2. Ilmu Laduni atau ilmu Hudhuri (yang dihadirkan oleh Allah).
Ilmu Laduni adalah ilmu yang langsung berasal dari Allah SWT.
Ilmu Laduni diibaratkan bagaikan kita mengebor tanah. Terus menerus sehingga ketika sudah mencapai air bersih, maka muncullah air bersih yang segar dan tidak terkontaminasi warna dan bau lainnya.

Inilah ilmu laduni yang langsung dari Allah, ilmu murni, suci dan tidak terpengaruh oleh apapun. Cara memperolehnya juga bukan dengan kuliah sampai doktor atau profesor sekalipun  namun dengan terus berdzikir secara mendalam dalam waktu yang relatif lama sehingga terbukalah hijab spiritual (kasyaf).

Ilmu Laduni dimiliki seorang Waliyullah. Ilmu laduni adalah ilmu yang paling agung dan puncak dari segala ilmu.  Dengan mujahadah, pembersihan dan pensucian hati akan terpancar nur dari hatinya, sehingga tersibaklah seluruh rahasia-rahasia alam ghaib bahkan bisa berkomunikasi langsung dengan Allah, para Rasul dan ruh-ruh yang lainnya, termasuk nabi Khidhir.

Tidaklah bisa diraih ilmu ini kecuali setelah mencapai tingkatan ma’rifat melalui latihan-latihan, amalan-amalan, ataupun dzikir-dzikir tertentu. 

Beberapa sufi berkomentar tentang ilmu laduni, antara lain:

1. Al Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin 1/11-12 berkata:  “Ilmu kasyaf adalah tersingkapnya tirai penutup, sehingga kebenaran dalam setiap perkara dapat terlihat jelas seperti menyaksikan langsung dengan mata kepala … inilah ilmu-ilmu yang tidak tertulis dalam kitab-kitab dan tidak dibahas … “.  Dia juga berkata:  “Awal dari tarekat, dimulai dengan mukasyafah dan musyahadah, sampai dalam keadaan terjaga (sadar) bisa menyaksikan atau berhadapan langsung dengan malaikat-malaikat dan juga ruh-ruh para Nabi dan mendengar langsung suara-suara mereka bahkan mereka dapat langsung mengambil ilmu-ilmu dari mereka”. (Jamharatul Auliya’: 155) 

2. Abu Yazid Al Busthami berkata:   “Kalian mengambil ilmu dari orang-orang yang mati. Sedang kami mengambil ilmu dari Allah yang Maha Hidup dan tidak akan mati. Orang seperti kami berkata: “Hatiku telah menceritakan kepadaku dari Rabbku”. (Al Mizan: 1/28) 

3. Ibnu Arabi berkata:   “Ulama syariat mengambil ilmu mereka dari generasi terdahulu sampai hari kimat. Semakin hari ilmu mereka semakin jauh dari nasab. Para wali mengambil ilmu mereka langsung dari Allah yang dihujamkan ke dalam dada-dada mereka.” (Rasa’il Ibnu Arabi hal. 4).

Perbedaan Sumber ilmu hadist

1 Perbedaan penggunaan jenis ilmu. Ulama hadits yang bukan sufi, dengan segala hormat akan upaya mereka telah memverifikasi hadits, hanya menggunakan ilmu hushuli dalam menelaah validitas sebuah hadis.

Tidak heran jika menurut para ahli hadis, hadis-hadis yang menjadi dasar hukum shalat Rajab maupun Nishfu Sya’ban adalah hadis dha’if maupun maudhu’. Namun para sufi selain menggunakan ilmu hushuli dalam mencari kebenaran, mereka juga menggunakan ilmu laduni.

Sehingga ada beberapa hadits yang menurut para sufi dha’if sanadan shahih kasyfan (lemah secara sanad, namun shahih secara kasyaf).   Sudah menjadi kebiasaan para sufi untuk berkonsultasi dengan Allah dan RasulNya sebelum melakukan hal yang kecil sekalipun dan meski hanya menyangkut urusan pribadi.

Apalagi ritual-ritual yang menyangkut orang banyak mereka tentunya bertanya kepada Allah.  Hujjatul Islam Imam al-Ghazali dan Sulthan Awliyaa’ Syekh Abdul Qadir al-Jailani adalah dua di antara para sufi yang dalam buku susunannya (Ihya’ ‘ulumiddin dan al-Ghunyah lithalibii thariqil haq) mencantumkan ritual-ritual yang di tentang para ahli hadis secara sanad.

Beliau berdua adalah sufi yang tidak diragukan lagi kesufiannya dan kedekatannya kepada Allah, dikagumi oleh para ulama dunia termasuk Ibnu Taymiah.  Meski demikian mayoritas ahli hadis yang bukan sufi tetap saja tidak bisa menerima konsep shahih kasyfan. Apa yang diterapkan oleh kalangan ahli hadits dalam menetapkan sistem periwayatan hadits sebenarnya berdasarkan rasio dan sistem yang sangat hati-hati. Artinya dzauq dan pengalaman rohani tidak dilibatkan.

Berbeda dengan para sufi ketika mereka mendapatkan hadits sistem yang diterapkan tidak hanya dengan sistem yang melibatkan rasio semata tetapi lebih melibatkan dzauq dan kasyaf/pengalaman batin.

Seperti Ibnu ‘Arabi ketika meriwayatkan hadits “kuntu kanzan makhfiyan…..dst” menurut beliau hadits ini disampaikan Rasulullah saw yang menemuinya secara langsung tanpa tidur dan dalam keadaan sadar. Padahal kehidupan beliau tidak satu masa.

Peringkat beliau pun bukan sahabat.  Oleh karenanya Ibnu ‘Arabi dalam magnum opusnya al-Futuhat al-Makkiah mengatakan bahwa hadist ini sebagai “shahih kasyfan wa la shahih sanadan. ” Artinya secara metodologi ahli hadits hadits ini tidak shoheh bahkan dianggap palsu

Sedangkan secara kasyaf (pengetahuan batin) peringkatnya shahih. Contoh diatas adalah sebuah penyebab adanya konfrontasi antara kalangan ahli hadits dan fuqaha dengan para sufi.

2. Banyak ahli hadis yang menilai para sufi sebagaimana mereka menilai kemampuan diri mereka. Ketika para ahli hadis tidak bisa berkomunikasi dengan Rasul, mereka katakan tidak mungkin seseorang bertemu Rasul setelah beliau wafat.

Mereka menyatakan bahwa para sufi sebenarnya banyak melakukan kebohongan atas nama Nabi, karena mereka selalu menyebutkan hadits-hadits palsu.

Mereka menanggapi pertemuan antara Syekh Ahmad at-Tijani yang mengaku bertemu dengan Nabi dan memberikan ijazah tarekat Tijaniyyah, atau Ibnu ‘Arabi yang bertemu dengan Rasulullah saw dan memberikan hadits qudsi “kuntu kanzan makhfiyan…..” sebagai pernyataan yang tidak mungkin terjadi. Syekh Ahmad at-Tijani dan Ibnu ‘Arabi hidup dimasa yang jauh setelah hidupnya Rasulullah s.a.w.

Para sufi menganggap Rasulullah tidak mati tetapi tetap hidup dan dapat berkomunikasi dengan orang-orang tertentu.

Bukankah Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya” (QS. 2:154)  juga di ayat lain “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS. 3:169).

Bukankah Rasulullah s.a.w. juga berkomunikasi dengan nabi Musa a.s. saat Mi’raj?

Para ahli hadis di zaman dahulu menghabiskan umurnya untuk mengumpulkan dan mengecek kebenaran hadis meskipun harus bepergian ke tempat yang jauh.

Para ahli hadis zaman sekarang mungkin lebih ringan karena mengecek hadis cukup dari buku ke buku. Wajar saja jika mereka memiliki data yang akurat seputar perawi hadits.

Semoga Allah membalas jerih payah mereka dengan balasan yang berlipat ganda.   Sesungguhunya para sufi juga memliki jerih payah yang tidak kalah meletihkan dalam beribadah.

Bayangkan Syekh Abdul Qadir selama 40 tahun tidak tidur malam, dan mencukupkan shalat Shubuh dengan wudhu shalat Isya. Beliau isi setiap malam dengan full beribadah kepada Allah untuk membersihkan qalbunya. Wajar saja kalau qalbunya begitu bersih sehingga dapat menyerap cahaya Ilahi lebih banyak dari yang lain.

Dengan qalbunya yang bersih juga ia dapat berkomunikasi dengan para ruh yang suci.   Solusi Salah satu Solusinya… ahli hadits menerapkan sistem haditsnya betul dan tidak disalahkan. Mereka melibatkan rasio secara sistematik secara 100%. Sistem sepert ini dapat diaplikasikan pada ilmu-ilmu fiqh saja dan tidak bisa diterapkan pada ilmu tasawuf.

Sementara sistem hadits yang diterapkan para sufi pun benar juga, karena untuk memahami dan mendalami ilmu tasawuf tidak hanya melibatkan rasio, justru rasio hanya dilibatkan 25% saja dan 75% menggunakan dzauq, iman dan mukasyafah. Sistem pengambilan hadits seperti ini hanya diaplikasikan pada ilmu-ilmu tasawuf, tetapi tidak bisa digunakan untuk fiqh.


 3.  Hukum dasar puasa adalah baik dilakukan, Shalat Mutlaq dapat dilakukan kapan saja. 
Ketika Al Hafidh Al Muhaddits Imam Nawawi menjawab masalah puasa di bulan rajab,
beliau berkata :  ولم يثبت في صوم رجب نهى ولا ندب لعينه ولكن أصل الصوم مندوب إليه 

“Tiada hukum yg menguatkan puasa di bulan rajab, akan tetapi asal muasal hukum puasa adalah hal yg baik dilakukan” (Fathul baari Almasyhur Juz 8 hal.38),  Jelaslah sudah bahwa Imam Nawawi berpendapat semua hal yg baik dan sunnah, jika dilakukan di waktu kapanpun, boleh saja dilakukan diwaktu yg dipilih.

Juga sebagaimana diriwayatkan ketika ada Imam masjid Quba yg selalu membaca surat Al Ikhlas disetiap habis fatihah, ia selalu menyertakan surat Al Ikhlas lalu baru surat lainnya, lalu makmumnya protes, seraya meminta agar ia menghentikan kebiasaanya, namun Imam itu menolak, silahkan pilih imam lain kalau kalian mau, aku akan tetap seperti ini!,

maka ketika diadukan pada Rasul saw, maka Rasul saw bertanya mengapa kau berkeras dan menolak permintaan teman temanmu (yg meminta ia tak membaca surat al ikhlas setiap rakaat), dan apa pula yg membuatmu berkeras mendawamkannya setiap rakaat?” ia menjawab : “Aku mencintai surat Al Ikhlas”, maka Rasul saw menjawab : “Cintamu pada surat Al Ikhlas akan membuatmu masuk sorga” (Shahih Bukhari hadits no.741).

Kita tahu bahwa di dalam satu tahun ada 5 hari yang diharamkan berpuasa yaitu Iedul Fitri, Iedul Adha, lalu 3 hari setelah Iedul Adha. Mafhum mukhalafahnya (logika terbalik) adalah selain yang 5 hari itu maka dibolehkan berpuasa.

Sedangkan shalat Rajab adalah jenis shalat MUTLAQ yang dapat dilakukan kapan saja.  Jadi yang dimaksud dengan shalat Rajab adalah “shalat mutlaq yang dilakukan pada malam-malam bulan Rajab”. Maka tidak ada larangan melakukannya pada setiap waktu yang dibolehkan shalat. Jangan sampai kita mengharamkan sesuatu yang halal.

Allah berfirman Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu (QS. At-Tahrim 66:1)  Adapun surat-surat yang dibaca dalam shalat mutlaq tersebut silakan dibaca surat apa saja selama yang dibaca adalah al-Qur’an.

 Begitu pula yang dilakukan oleh imam masjid Quba. Bilal menciptakan shalat (mutlaq) syukrul wudhu

 عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لبلال عند صلاة الفجر” يا بلال حدثني بأرجي عمل عملته في الإسلام فإني سمعت دفَّ نعليك بين يدي في الجنة قال ما عملت عملا أرجى عندي أني لم أتطهر طهورا في ساعة ليل أو نهار إلا صليت بذلك الطهور ما كتب لي أن أصلي “.  

Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda pada Bilal : “Hai Bilal, ceritakanlah kepadaku tentang amal yang kamu harapkan akan mendapatkan pahala, yang telah kamu kerjakan dalam Islam. Karena sesungguhnyalah aku mendengar suara terompahmu di hadapanku di sorga”

Bilal menjawab: “saya tidak beramal dengan sesuatu amal apapun. Yang lebih saya harapkan pahalanya, kecuali saya mengerjakan shalat setelah aku bersuci (berwudlu) baik di waktu siang atau malam sesuai dengan yang telah ditentukan buatku untuk melakukan shalat. (HR. Bukhori dan Muslim ) 

4. Bulan Rajab adalah Bulan Haram  Bulan-bulan haram itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan-bulan tersebut.

 Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” (Latho-if Al Ma’arif, 214)  Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latho-if Al Ma’arif, 207)

Di bawah ini saya cantumkan contoh hadis yang dibahas oleh para ahli hadis dan sufi

  عن أنس عن النبي -صلى الله عليه وسلم- أنه قال: “ما من أحد يصوم يوم الخميس (أول خميس من رجب) ثم يصلي فيما بين العشاء والعتمة يعني ليلة الجمعة اثنتي عشرة ركعة ، يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب مرة و((إنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ القَدْرِ)) ثلاث مرات، و((قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ)) اثنتي عشرة مرة ، يفصل بين كل ركعتين بتسليمة ، فإذا فرغ من صلاته صلى عليّ سبعين، فيقول في سجوده سبعين مرة: (سبوح قدوس رب الملائكة والروح) ، ثم يرفع رأسه ويقول سبعين مرة: رب اغفر وارحم وتجاوز عما تعلم ، إنك أنت العزيز الأعظم ، ثم يسجد الثانية فيقول مثل ما قال في السجدة الأولى ، ثم يسأل الله (تعالى) حاجته ، فإنها تقضى”.. قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: “والذي نفسي بيده ، ما من عبد ولا أَمَة صلى هذه الصلاة إلا غفر الله له جميع ذنوبه ، ولو كانت مثل زبد البحر ، وعدد الرمل ، ووزن الجبال ، وورق الأشجار ، ويشفع يوم القيامة في سبعمئة من أهل بيته ممن قد استوجب النار. (إحياء علوم الدين ، للغزالي)   

Dari Anas dari Nabi s.a.w. beliau bersabda, “Tiada seorangpun yang berpuasa pada hari Kamis (kamis pertama bulan Rajab) kemudian shalat antara Maghrib dan Isya yaitu malam Jum’at 12 rakaat, dibaca pada setiap rakaat al-Fatihah satu kali, dan al-Qadr 3 kali, al-Ikhlas 12 kali, dipisahkan antara setiap 2 rakaat dengan 1 salam.

Kemudian setelah shalat selesai bershalawat kepadaku 70 kali, kemudian membaca pada sujudnya 70 kali سبوح قدوس رب الملائكة والروح, kemudian mengangkat kepalanya dan mengucapkan 70 kali رب اغفر وارحم وتجاوز عما تعلم ، إنك أنت العزيز الأعظم, 

Kemudian sujud yang kedua dan mengucapkan sebagaimana yang diucapkan pada sujud pertama.  Kemudian memohon kepada Allah agar dikabulkan hajatnya, maka hajatnya akan dikabulkan.. Rasulullah s.a.w. melanjutkan, dan demi yang jiwaku berada di tanganNYa (Allah) tiada seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan menjalankan shalat ini kecuali Allah mengampuni seluruh dosa-dosanya meskipun sebanyak buih di lautan, dan sebanyak pasir, dan sebesar gunung, dan sebanyak dedaunan di pepohonan, dan ia akan memberi syafaat kepada 700 keluarganya yang masuk neraka”. (Ihya’ Ulumiddin) Wallahu a’lam semoga bermanfaat 

 Dalil Puasa Pada Bulan Rajab Alloh berfirman didalam QS At-Taubah ayat 36

 إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ 

Artinya: Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.

Yang dimaksud empat bulan haram (mulia) adalah Rajab, Dzul Qo'dah, Dzul Hijjah, Muharram. Berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim (muttafaq alaih)

 Nabi bersabda:

 السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا , مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ , ثَلاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ : ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ , وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ 

Artinya: Tahun itu ada 12 bulan. Yang empat adalah bulan mulia (haram) yaitu Dzul Qo'dah, Dzul HIjjah, Muharram dan Rajab. Hadits riwayat Abu Daud, Ahmad, Baihaqi, Ibnu Said

صم من الحُـرُم واترك، صم من الحرم واترك
Artinya: Berpuasalah pada bulan-bulan haram (mulia), dan tinggalkan. Dan Rajab termasuk dari bulan yang mulia yang empat. Hadits riwayat Nasa'i dan Ahmad dari Usamah bin Zaid

أسامة بن زيد قال: قلت: يا رسول الله، لم أرك تصوم شهراً من الشهور ما تصوم من شعبان، قال: "ذلك شهر يغفل الناس عنه بين رجب ورمضان وهو شهر ترفع فيه الأعمال إلى رب العالمين، فأحب أن يرفع عملي وأنا صائم 

Artinya: Usama bin Zaid berkata: Saya berkata pada Rasulullah, 'Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa satu bulan dari beberapa bulan Sya'ban.' Nabi bersabda: "Itu adalah bulan yang dilupakan manusia antara bulan Rajab dan Ramadan. Ia adalah bulan saat amal-amal perbuatan diangkat ke Allah. Maka aku suka amalku diangkat saat aku sedang puasa." 

Pendapat Sunah-Nya Puasa Bulan Rajab  Sebagian besar ulama (jumhur) menghukumi sunnah berpuasa pada bulan Rajab dengan 2 argumen.
Argument Pertama Adanya hadits yang menganjurkan untuk berpuasa sunnah.
Argument Kedua Adanya hadits yang menganjurkan untuk puasa pada bulan-bulan haram (mulia).

Dan Rajab termasuk bulan haram. Asy-Syaukani dalam Nailul Authar mengomentari hadits Usamah bin Zayd di atas menyatakan:

 ظاهر قوله في حديث أسامة إن شعبان شهر يغفل عنه الناس بين رجب ورمضان أنه يستحب صوم رجب

Artinya: Pemahaman yang dzahir dari hadits Usamah (bin Zayd) di atas adalah bahwa bulan Sya'ban adalah bulan yang banyak dilupakan orang yang letaknya antara bulan Rajab dan Ramadan. Dan bahwa sunnah hukumnya berpuasa pada bulan Rajab. Asy-Syaukani dalam Nailul Authar Ibnu Subki meriwayatkan dari Muhammad bin Manshur al-Sam'ani yang mengatakan bahwa tak ada hadis yang kuat yang menunjukkan kesunahan puasa Rajab secara khusus. Disebutkan juga bahwa Ibnu Umar memakruhkan puasa Rajab, sebagaimana Abu Bakar al-Tarthusi yang mengatakan bahwa puasa Rajab adalah makruh, karena tidak ada dalil yang kuat.

Namun demikian, sesuai pendapat al-Syaukani, bila semua hadis yang secara khusus menunjukkan keutamaan bulan Rajab dan disunahkan puasa di dalamnya kurang kuat dijadikan landasan, maka hadis-hadis Nabi yang menganjurkan atau memerintahkan berpuasa dalam bulan- bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab itu cukup menjadi hujjah atau landasan.

Di samping itu, karena juga tidak ada dalil yang kuat yang memakruhkan puasa di bulan Rajab. Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah bersabda "Puasalah pada bulan-bulan haram (mulia)." (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad).

 Hadis lainnya adalah riwayat al-Nasa'i dan Abu Dawud (dan disahihkan oleh Ibnu Huzaimah): "Usamah berkata pada Nabi Muhammad Saw, “Wahai Rasulallah, saya tak melihat Rasul melakukan puasa (sunnah) sebanyak yang Rasul lakukan dalam bulan Sya'ban. Rasul menjawab: 'Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadhan yang dilupakan oleh kebanyakan orang.'" Menurut al-Syaukani dalam Nailul Authar, dalam bahasan puasa sunnah, ungkapan Nabi, "Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan kebanyakan orang" itu secara implisit menunjukkan bahwa bulan Rajab juga disunnahkan melakukan puasa di dalamnya.

Keutamaan berpuasa pada bulan haram juga diriwayatkan dalam hadis sahih imam Muslim. Bahkan berpuasa di dalam bulan-bulan mulia ini disebut Rasulullah sebagai puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan. Nabi bersabda : “Seutama-utama puasa setelah Ramadan adalah puasa di bulan-bulan al-muharram". (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab).

 Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menyatakan bahwa kesunnahan berpuasa menjadi lebih kuat jika dilaksanakan pada hari-hari utama (al-ayyam al-fadhilah). Hari- hari utama ini dapat ditemukan pada tiap tahun, tiap bulan dan tiap minggu. Terkait siklus bulanan ini Al-Ghazali menyatakan bahwa Rajab terkategori al-asyhur al-fadhilah di samping dzulhijjah, muharram dan sya’ban. Rajab juga terkategori al-asyhur al-hurum di samping dzulqa’dah, dzul hijjah, dan muharram.

Disebutkan dalam Kifayah al-Akhyar, bahwa bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah Ramadan adalah bulan- bulan haram yaitu dzulqa’dah, dzul hijjah, rajab dan muharram. Di antara keempat bulan itu yang paling utama untuk puasa adalah bulan al-muharram, kemudian Sya’ban. Namun menurut Syaikh Al-Rayani, bulan puasa yang utama setelah al-Muharram adalah Rajab. Terkait hukum puasa dan ibadah pada Rajab, Imam Al-Nawawi menyatakan “Memang benar tidak satupun ditemukan hadits shahih mengenai puasa Rajab, namun telah jelas dan shahih riwayat bahwa Rasul saw menyukai puasa dan memperbanyak ibadah di bulan haram, dan Rajab adalah salah satu dari bulan haram, maka selama tak ada pelarangan khusus puasa dan ibadah di bulan Rajab, maka tak ada satu kekuatan untuk melarang puasa Rajab dan ibadah lainnya di bulan Rajab” (Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim).

Ada lima malam ketika doa di malam-malam itu tidak ditolak: malam pertama bulan Rajab, malam Nishfu Sya'ban, malam Jum'at, malam `Idul Fithri, dan malam nahar (Idul Adha)."

Demikian hadits yang disebutkan oleh As Suyuthi dalam Al-Jami' Ash Shaghir riwayat Ibnu 'Asakir dari Abu Umamah. Maqolah habib Munzir al-Musawa mengatakan bahwa: mengenai hadits tentang mmenunjukkan kesunahan puasa Rajab secara khusus memang dhoif, namun masih diakui oleh sebagian ulama syafi'iyah, dan mengingkari keutamaan bulan rajab adalah hal yg munkar, karena Rajab adalah salah satu dari bulan haram yg dimuliakan Allah dan rasul Nya".

kemudian amalan2 pada bulan Rajab itu teriwayatkan dalam hadits dhoif, namun para ulama kita mengamalkannya dan sepantasnya kita melestarikannya, karena teriwayatkan pula dalam banyak hadits bahwa Rasul saw beristighfar 100 X dalam satu majelis disaksikan/bersama para sahabat dengan ucapan itu namun shighah Jamak.

(sunanul Kubra hadits no.10293) dan riwayat ini banyak. Dan pelarangan akan hal itu adalah perbuatan Munkar. Ditegaskan oleh Imam Suyuthi dalam kitab al-Haawi lil Fataawi bahwa hadis-hadis tentang keutamaan dan kekhususan puasa Rajab tersebut terkategori dha'if (lemah atau kurang kuat). Namun dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana biasa diamalkan para ulama generasi salaf yang saleh telah bersepakat mengamalkan hadis dha’if dalam konteks fada’il al-a’mal (amal- amal utama). Syaikhul Islam al-Imam al-Hafidz al- ‘Iraqi dalam al-Tabshirah wa al- tadzkirah mengatakan:

“Adapun hadis dha’if yang tidak maudhu’ (palsu), maka para ulama telah memperbolehkan mempermudah dalam sanad dan periwayatannya tanpa menjelaskan kedha’ifannya, apabila hadis itu tidak berkaitan dengan hukum dan akidah, akan tetapi berkaitan dengan targhib (motivasi ibadah) dan tarhib (peringatan) seperti nasehat, kisah-kisah, fadha’il al-a’mal dan lain- lain.”

 Diriwayatkan dari Sayyidatina 'Aisyah RA, bahwa Rasululloh SAW bersabda: "Di hari qiyamat nanti semua manusia akan mengalami kelaparan dan kehausan. Kecuali para Nabi dan keluarganya, Orang yang berpuasa di Bulan Rajab, Syaban, dan Ramadhan. Maka mereka akan merasa kenyang, tdk akan lapar dan haus". (Kitab Zubdatul-wa'idziyn, tentang Bulan Rajab)

Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA, Rasululloh SAW bersabda: "Barang siapa yang Sholat Sunat di Malam bulan Rajab sesudah Sholat Maghrib, disetiap roka'atnya membaca fatihatul-kitab dan qs. Al-Ikhlash, sebanyak 10x salam, berarti 20 roka'at. Maka Alloh SWT akan menjaganya dan keluarganya dari bala duniya dan siksa Akhirat". (Kitab Dzurrotun-Nasichin hal.42, cetakan Bayrut)

Rasululloh SAW bersabda: "Barang siapa menghidupkan 1 Malam di bulan Rajab (dengan beribadah kepada Alloh), maka hatinya tidak akan mati disaat hati-hati yang lain mati. Dan Allah SWT akan mencurahkan kebaikan kepadanya, dan ia akan diampuni dosanya seperti ia baru dilahirkan ibunya, dan bisa memberikan Syafa'at kepada 70 orang yang berdosa yg sudah di tetapkan masuk neraka". (Kitab Dzurrotun-nasichin hal.42 Cetakan Bayrut)

 Diriwayatkan dari Sa'id bin Rasyid: Rasululloh SAW bersabda: “Barangsiapa berpuasa sehari di bulan Rajab, maka ia laksana berpuasa setahun, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya pintu-pintu neraka jahanam, bila puasa 8 hari dibukakan untuknya 8 pintu surga, bila puasa 10 hari, Allah akan mengabulkan semua permintaannya....." (HR. At-Thobari)

 Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA, ia berkata: "Aku bertemu Mu'adz bin jabal RA dan berkata: "Dari mana engkau Ya Mu'adz?" Ia menjawab: "Aku baru saja dari Nabi SAW." Aku (Anas) berkata: Lalu apakah yg kau dengar?" Mu'adz menjawab: "Aku mendengar- "Barang siapa berkata La Ilaha IllaLLOH dengan benar2 Ikhlas, maka ia masuk surga. Dan barang siapa berpusa satu hari di bulan Rajab dengan mengharaf Ridlo Allah maka ia masuk surga". Kemudian aku (anas) masuk kerumah Rasululloh, lalu aku berkata: "Ya Rasulallah, sesungguhnya Mu'adz berkata seperti ini (sprti yg dikatakan Mu'adz tadi).

Maka Rasululloh SAW berkata: "Benar apa yang disampaikan Mu'adz". (Kitab Zuhrotur-Riyadl) Abdulloh Ibnu Abbas RA berkata: "Puasa di hari pertama bulan Rajab dapat menghapus dosa selama 3 Tahun. Di hari kedua menjadi penghapus dosa selama 2 Tahun. Dihari ketiga menjadi penghapus dosa 1 tahun. Kemudian disetiap hari sesudahnya menjadi penghapus dosa 1 bulan". (HR. Abu Muhammad Al-Khalali - Kitab Jamiy'is-Shogiyr).

Dari Anas bin Malik RA, Rasululloh SAW bersabda: "Sesungguhnya di dalam Surga terdapat Sungai yg bernama Rajab, lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu. Siapa yang berpuasa satu hari dibulan Rajab maka Alloh SWT akan memberinya minum dari sungai itu". (HR. Bayhaqi dalam Kitab Sya'bul-Iyman).

Pendapat Makruh Puasa Rajab

 Ahmad bin Hanbal (Madzhab Hanbali) berkata:

 وأما رجب فأحب إليّ أن أفطر منه

Artinya: Saya lebih senang tidak puasa pada bulan Rajab.

- Al-Mardawi dalam Al-Inshaf menyatakan

:وَيُكْرَهُ إفْرَادُ رَجَبٍ بِالصَّوْمِ

Artinya: Mengkhususkan puasa Rajab (sebulan penuh) hukumnya makruh.

- Imam Suyuthi dalam Amr bil Ittiba' menyatakan:

وَيُكْرَهُ إفْرَادُ رَجَبٍ بِالصَّوْمِ

Artinya: Makruh mengkhususkan pada bulan Rajab.

 - Imam Syafi'i dalam qaul qadim memakruhkan puasa Rajab sebulan penuh

 وأكره أن يتخذ الرجل صوم شهر بكماله كما يكمل رمضان، وكذلك يوماً من بين الأيام

Pendapat Wahabi Puasa Rajab

Berikut pendapat sejumlah ulama Wahabi utama tentang puasa dan ibadah di bulan Rajab

1. Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz berpendapat makruh puasa pada bulan Rajab يكره إفراده بالصوم تطوعاً لأنه من شأن الجاهلية كانوا يعظمونه بالصوم، فكره أهل العلم إفراده بالصوم تطوعاً أما إذا صامه الإنسان عن صوم عليه من قضاء رمضان أو من كفارة فلا حرج في ذلك، أو صام منه ما شرع الله من أيام الاثنين والخميس أو ثلاثة أيام البيض كل هذا لا حرج فيه، والحمد لله، كغيره من الشهور. Arti ringkasan: Makruh menyendirikan puasa sunnah Rajab karena itu termasuk perilaku jahiliah.

2. Ibnu Uthaimin, mengharamkan puasa Rajab karena dianggap bid'ah. Dalam Majmuk Al-Fatawa Ibnu Utsaimin 20/440 dia mengatakan: صيام اليوم السابع العشرين من رجب وقيام ليلته وتخصيص ذلك بدعة , وكل بدعة ضلالة . Artinya: Puasa pada hari ke 27 bulan Rajab dan bangun malam dan mengkhususkan hal itu adalah bid'ah. Dan setiap bid'ah itu sesat. Pada kesempatan lain Ibnu Uthaimin mengatakan: أود أن أقول: هناك من يَخُصُّ رجب بالصيام، فيصوم رجب كلَّه وهذا بدعة وليس بسنة Artinya: Mengkhususkan puasa bulan Rajab selama sebulan termasuk bid'ah. Bukan Sunnah.

3. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan menyatakan puasa awal Rajab sebagai bid'ah (= haram) ‏ صوم أول يوم من رجب بدعة ليس من الشريعة ولم يثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم في خصوص رجب صيام، فصيام أول يوم من رجب واعتقاد أنه سنة هذا خطأ وبدعة‏ Artinya: Puasa awal Rajab adalah bid'ah dan tidak sesuai syariah. Tidak ada ketetapan dari nabi adanya kekhususan puasa bulan Rajab. Berpuasa awal bulan Rajab dan meyakini kesunnahannya adalah salah dan bid'ah. 

KESIMPULAN
- Berpuasa bulan Rajab hukumnya sunnah berdasarkan hadits yang menganjurkan sunnahnya berpuasa secara umum dan sunnahnya puasa pada bulan-bulan haram. Dan Rajab termasuk bulan haram secara ijmak (kesepakatan ulama). - Berpuasa pada sebagian bulan Rajab tidak sebulan penuh hukumnya sunnah menurut kesepakan madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali). - Tetapi mengkhususkan berpuasa sebulan penuh pada bulan Rajab--sementara bulan haram lain tidak--adalah makruh menurut sebagian ulama. Dan tetap sunnah menurut sebagian ulama yang lain. - Menurut ulama Wahabi, puasa bulan Rajab termasuk bid'ah yang sesat dan haram.