Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengertian Hukum i’tikaf , Rukun, Syarat dan Hal Yang membatalkan i’tikaf

Pengertian Hukum i’tikaf , Rukun, Syarat dan Hal Yang membatalkan i’tikaf  pengertian-hukum-itikaf-rukun-syarat-dan-hal-yang-membatalkan-itikaf-di-mesjid

Pengertian Hukum i’tikaf , Rukun, Syarat dan Hal Yang membatalkan i’tikaf - Secara bahasa, i’tikaf  berasal dari kata ‘akafa–ya’kifu–ukufan artinya mencegah atau menetapi tergantung kata setelahnya, Kalimat I’takafa fi al-masjid berarti tetap tinggal atau diam di masjid.

Menurut pengertian istilah atau terminologi, i’tikaf adalah tetap diam di masjid untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. dengan beribadah, dzikir, bertasbih dan kegiatan terpuji lainnya serta menghindari perbuatan yang tercela


Hukum I’tikaf

I’tikaf hukumnya sunah. Dianjurkan dalam seluruh waktu di bulan Ramadhan, namun pada 10 hari terakhir lebih utama karena meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan untuk mencari malam Lailatul Qadar.

Hadis Rasulullah SAW menyebutkan bahwa itikaf di sepuluh malam terakhir bulan Ramadan bagai beritikaf dengan beliau (Rasulullah SAW).

مَنِ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفَ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ

“Siapa yang ingin beri’tikaf bersamaku, maka beri’tikaflah pada sepuluh malam terakhir.” (HR Ibnu Hibban).

 عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ 

Dari Aisyah r.a. isteri Nabi s.a.w. menuturkan, “Sesungguhnya Nabi SAW. melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian istri-istrinya mengerjakan i’tikaf sepeninggal beliau”. (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari dan Muslim: )

. عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَسَافَرَ سَنَةً فَلَمْ يَعْتَكِفْ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا 

Dari Ubay bin Ka'ab r.a. berkata, “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Pernah selama satu tahun beliau tidak beri’tikaf, lalu pada tahun berikutnya beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”. 
(Hadis Hasan, riwayat Abu Dawud , Ibn Majah: dan Ahmad). 

Beri’tikaf di luar bulan Ramadhan, dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a.:

 عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ فَاسْتَأْذَنَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَضْرِبَ خِبَاءً فَأَذِنَتْ لَهَا فَضَرَبَتْ خِبَاءً فَلَمَّا رَأَتْهُ زَيْنَبُ ابْنَةُ جَحْشٍ ضَرَبَتْ خِبَاءً آخَرَ فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى الْأَخْبِيَةَ فَقَالَ مَا هَذَا فَأُخْبِرَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَالْبِرَّ تُرَوْنَ بِهِنَّ فَتَرَكَ الِاعْتِكَافَ ذَلِكَ الشَّهْرَ ثُمَّ اعْتَكَفَ عَشْرًا مِنْ شَوَّالٍ 

Dari Aisyah r.a. berkata, “Nabi SAW. biasa beri’tikaf sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, kemudian aku memasang tirai untuk beliau, lalu beliau mengerjakan shalat Shubuh, kemudian beliau masuk ke dalamnya. Hafsah kemudian meminta izin pada Aisyah untuk memasang tirai, lalu Aisyah mengizinkannya, maka Hafsahpun memasang tirai. Waktu Zainab binti Jahsyi melihatnya, iapun memasang tirai juga. Pagi harinya Nabi s.a.w. menjumpai banyak tirai dipasang, lalu beliau bertanya: “Apakah memasang tirai-tirai itu kamu pandang sebagai suatu kebaikan?”. Maka beliau meninggalkan i’tikaf pada bulan itu (Ramadhan itu). Kemudian beliau beri’tikaf pada sepuluh hari  dari bulan Syawal (sebagai gantinya)”. (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari dan Muslim).


Rukun I’tikaf

Rukun i’tikaf ada 4, yaitu:

a. Niat

b. Tinggal di dalam masjid

Yaitu tidak cukup tinggal sekedar tuma’ninah, namun juga menambahkannya dengan perbuatan yang bisa disebut tinggal. Imam Syafii menganjurkan untuk tinggal sehari supaya keluar dari khilaf.

c. Adanya pelaku i’tikaf

Syaratnya adalah Islam, berakal, suci dari haid, nifas dan janabah.

d. Tempat i’tikaf

Syaratnya adalah di dalam masjid. Adapun masjid yang dimaksud adalah masjid jami’ sehingga pelaku i’tikaf tidak perlu keluar untuk sholat Jumat. Dalilnya adalah hadis nabi berikut,

“Tidak ada i’tikaf kecuali di masjid jami’.” (HR Ibnu Abi Syaibah dan Said bin Mansur dari hadis Hudzaifah)



Hal-hal yang Membatalkan I’tikaf

Hal-hal yang membatalkan i’tikaf antara lain:
a. Keluar untuk menggauli istri

 وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقۡرَبُوهَاۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ  “…

Dan janganlah kamu campuri mereka (istrimu) itu, sedang kamu beri’tikaf di masjid, itulah ketuntuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa”. (QS. al-Baqarah, 2:187).


b. Keluar untuk menyentuh atau mencium istri dengan syahwat

c. Keluar untuk sholat Jumat jika sedang i’tikaf di masjid jami’

d. Keluar untuk minum padahal ada air di masjid

e. Keluar untuk menjenguk orang sakit

f. Keluar untuk menyolatkan jenazah

g. Mengalami haid bagi wanita


Uzur yang Dibolehkan

Ada beberapa uzur yang dibolehkan, di mana keluar dari masjid tidak membatalkan i’tikaf, antara lain:

a. Keluar untuk buang hajat (baik hajat kecil maupun besar)

b. Keluar untuk mandi karena bermimpi basah

c. Keluar untuk makan karena lapar

d. Keluar untuk mengobati penyakitnya ke dokter

e. Keluar karena lupa atau karena dipaksa


Demikianlah uraian singkat mengenai hukum, rukun dan hal-hal yang membatalkan i’tikaf. Semoga ada manfaatnya