Kesalahan Wahabi terbesar dalam memahami Bidah Sesat
Kesalahan Wahabi terbesar dalam memahami Bid'ah Sesat
Bid’ah bukanlah status hukum Islam (sekali lagi bid’ah bukan status hukum Islam), melainkan istilah untuk sesuatu yang berlawan dengan sunnah.
Kalau Sunnah adalah perkataan/perbuatan yang berasal dari Rasul, sedangkan Kalau Bid’ah adalah perkataan/perbuatan yang bukan berasal dari Rasul.
Secara umum kita mengetahui hukum dasar Syariat atau hukum Syariat Islam adalah, Wajib, Sunnah, Halal, Harom dan Makruh. Inilah kelima hukum dasar agama didalam ilmu fiqih yang bersumber dari Al-qur’an dan Al- Hadits. Artinya semua perbuatan yang dicontohkan oleh Nabi SAW memiliki dua hukum pasti yaitu wajib dan sunnah. Sebaliknya, semua perbuatan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi SAW juga memiliki tiga hukum pasti yaitu halal, harom dan makruh.

Bid’ah bukanlah status hukum Islam (sekali lagi bid’ah bukan status hukum Islam), melainkan istilah untuk sesuatu yang berlawan dengan sunnah.
Kalau Sunnah adalah perkataan/perbuatan yang berasal dari Rasul, sedangkan Kalau Bid’ah adalah perkataan/perbuatan yang bukan berasal dari Rasul.
Secara umum kita mengetahui hukum dasar Syariat atau hukum Syariat Islam adalah, Wajib, Sunnah, Halal, Harom dan Makruh. Inilah kelima hukum dasar agama didalam ilmu fiqih yang bersumber dari Al-qur’an dan Al- Hadits. Artinya semua perbuatan yang dicontohkan oleh Nabi SAW memiliki dua hukum pasti yaitu wajib dan sunnah. Sebaliknya, semua perbuatan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi SAW juga memiliki tiga hukum pasti yaitu halal, harom dan makruh.
Semua yang dicontohkan oleh Nabi SAW pasti hukumnya halal, akan tetapi semua yang halal belum tentu dicontohkan oleh Nabi SAW, contohnya membaca Al-Qur,an yang sudah dibukukan dan membaca kitab Hadits Bukhori Muslim.
Sedangkan semua yang harom wajib ditinggalkan karena pasti tidak dicontohkah oleh Nabi SAW kecuali sudah menjadi halal. Contohnya, dulu sebelum menikahi istri kita, ia harom berkumpul, tapi sesudah menikah ia menjadi halal. Bahkan menurut mayoritas (Jumhur) Ulama, menikah hukumnya sunnah karena dicontohkan oleh Nabi SAW.
Bagi mereka yang memahami bahwa ibadah hanya berdasarkan Al-Qur,an dan Al-Hadist, atau sebatas wajib dan sunnah, harus sesuai dengan yang dicontohkan oleh Nabi SAW.
Inilah yang disebut pemahaman ibadah dalam arti sangat sempit. Ketika kita mengerjakan perbuatan baik yang tidak berhukum haram dan makruh dengan niat karena Alloh, maka perbuatan tersebut pasti akan menjadi ibadah. Inilah yang disebut pemahaman ibadah dalam arti sangat luas.
Begitu juga ketika kita mengerjakan perbuatan yang sangat jelas berbentuk ibadah dan dicontohkan oleh Nabi SAW. Tetapi apabila tidak diniatkan karena Alloh SWT, maka ibadah tersebut pasti menjadi bukan perbuatan ibadah.
Didalam hukum pasti atau hukum syariat Islam, sungguh tidak ada hukum yang meragukan atau subhat, karena semua yang subhat pasti berhukum haram. Selain hukum syariat diatas, ada satu lagi yang pasti dalam hukum Islam yaitu bid’ah itu bukan hukum.
Inilah yang disebut pemahaman ibadah dalam arti sangat sempit. Ketika kita mengerjakan perbuatan baik yang tidak berhukum haram dan makruh dengan niat karena Alloh, maka perbuatan tersebut pasti akan menjadi ibadah. Inilah yang disebut pemahaman ibadah dalam arti sangat luas.
Begitu juga ketika kita mengerjakan perbuatan yang sangat jelas berbentuk ibadah dan dicontohkan oleh Nabi SAW. Tetapi apabila tidak diniatkan karena Alloh SWT, maka ibadah tersebut pasti menjadi bukan perbuatan ibadah.
Didalam hukum pasti atau hukum syariat Islam, sungguh tidak ada hukum yang meragukan atau subhat, karena semua yang subhat pasti berhukum haram. Selain hukum syariat diatas, ada satu lagi yang pasti dalam hukum Islam yaitu bid’ah itu bukan hukum.
Siapa saja yang menjadikan (Bid’ah atau perbuatan) sebagai dasar hukum, maka ia telah membuat hukum baru didalam syariat islam dengan dasar yang sangat salah. Ketika ia membuat hukum baru dengan dasar yang salah, maka ia telah menjadi pelopor untuk menyesatkan orang-orang yang meyakini dan melaksanakan hukum tersebut.
Jadi seberapa banyak orang melaksanakan dan meyakini hukum
baru yang bernama (Bid’ah atau perbuatan) tersebut dan seberapa banyak hukum
baru tersebut telah menciptakan perdebatan, permusuhan dan perpecahan di
kalangan umat islam pada setiap lapisan Masyarakat.
Maka, sebanyak itulah sang penyampai sekaligus sang pelopor hukum baru yang bernama Bid’ah, akan terus menerus memperoleh dan menciptakan salah dan dosa dari setiap orang yang meyakini dan melaksanakan hukum baru (Bid’ah atau perbuatan) yang sangat salah tersebut.
Maka, sebanyak itulah sang penyampai sekaligus sang pelopor hukum baru yang bernama Bid’ah, akan terus menerus memperoleh dan menciptakan salah dan dosa dari setiap orang yang meyakini dan melaksanakan hukum baru (Bid’ah atau perbuatan) yang sangat salah tersebut.
Diantara contoh bid’ah atau amalan baru yang diperbolehkan
oleh Hukum syari’at islam,dan tidak pernah dilakukan atau dicontohkan oleh Nabi
SAW, adalah membaca Al-Qur,an yang sudah dibukukan seperti yang ada pada saat
ini, dan membaca kitab Hadits Bukhori Muslim.
Inilah salah satu diantara bukti bahwa tidak semua bid’ah
atau amalan baru yang tidak ada pada jaman Nabi SAW itu pasti sesat dan harom.
Jika Membaca Al-Qur,an dan membaca kitab Hadits Bukhori Muslim tersebut disertai dengan niat karena Alloh, maka (perbuatan atau bid’ah) tersebut pasti menjadi ibadah. Karena membaca Al-Qur,an yang sudah dibukukan dan kitab Hadits Bukhori Muslim, secara syari’at hukumnya adalah halal.
Jika Membaca Al-Qur,an dan membaca kitab Hadits Bukhori Muslim tersebut disertai dengan niat karena Alloh, maka (perbuatan atau bid’ah) tersebut pasti menjadi ibadah. Karena membaca Al-Qur,an yang sudah dibukukan dan kitab Hadits Bukhori Muslim, secara syari’at hukumnya adalah halal.
Berikut adalah pendapat beberapa ulama salaf mengenai Bid'ah
Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:
اَلإِبْدَاعُ إِنْشَاءُ صَنْعَةٍ بِلاَ احْتِذَاءٍ وَاقْتِدَاءٍ. وَإِذَا اسْتُعْمِلَ فِيْ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ إِيْجَادُ الشَّىْءِ بِغَيْرِ ءَالَةٍ وَلاَ مآدَّةٍ وَلاَ زَمَانٍ وَلاَ مَكَانٍ، وَلَيْسَ ذلِكَ إِلاَّ للهِ. وَالْبَدِيْعُ يُقَالُ لِلْمُبْدِعِ نَحْوُ قَوْلِهِ: (بَدِيْعُ السّمَاوَاتِ وَالأرْض) البقرة:117، وَيُقَالُ لِلْمُبْدَعِ –بِفَتْحِ الدَّالِ- نَحْوُ رَكْوَةٍ بَدِيْعٍ. وَكَذلِكَ الْبِدْعُ يُقَالُ لَهُمَا جَمِيْعًا، بِمَعْنَى الْفَاعِلِ وَالْمَفْعُوْلِ. وَقَوْلُهُ تَعَالَى: (قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُل) الأحقاف: 9، قِيْلَ مَعْنَاهُ: مُبْدَعًا لَمْ يَتَقَدَّمْنِيْ رَسُوْلٌ، وَقِيْلَ: مُبْدِعًا فِيْمَا أَقُوْلُهُ.اهـ
“Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya. Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa tempat. Kata Ibda’ dalam makna ini hanya berlaku bagi Allah saja. Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis sesuatu yang baru). Seperti dalam firman (Badi’ as-Samawat Wa al-Ardl), artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi…”. Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis). Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”. Demikian juga kata al-Bid'u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’, artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul (obyek). Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9 (Qul Ma Kuntu Bid’an Min ar-Rusul), menurut satu pendapat maknanya adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku” (artinya penggunaan dalam makna Maf’ul)”, menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan” (artinya penggunaan dalam makna Fa’il)” (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 36).
Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah:
اَلْمُحْدَثُ الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ.
“Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits”. (Sharih al-Bayan, j. 1, h. 278)
Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:
لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى الضَّلاَلَةِ.
“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”.
Al-Imam asy-Syafi’i berkata :
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ)
“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).
Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.
“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)
Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.
Amal ibadah yang
paling baik adalah amal ibadah yang dilakukannya dengan ikhlas dan benar. Jika
kita mengerjakan amal ibadah dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka ia tidak
akan diterima oleh Alloh SWT.
Begitu juga dengan amal ibadah yang sudah benar, jika kita mengerjakannya dengan tidak ikhlas, ia juga tidak akan diterima oleh Alloh SWT.
Semua amal ibadah akan diterima oleh Alloh tanpa terkecuali, jika kita melakukannya dengan ikhlas dan benar. Ikhlas artinya kita melakukannya hanya karena Alloh.
Terdapat dua cara dalam memahami dan melakukan amal ibadah yang baik dan benar.
Begitu juga dengan amal ibadah yang sudah benar, jika kita mengerjakannya dengan tidak ikhlas, ia juga tidak akan diterima oleh Alloh SWT.
Semua amal ibadah akan diterima oleh Alloh tanpa terkecuali, jika kita melakukannya dengan ikhlas dan benar. Ikhlas artinya kita melakukannya hanya karena Alloh.
Terdapat dua cara dalam memahami dan melakukan amal ibadah yang baik dan benar.
1.Kita
melakukan dan memahami amal ibadah dengan cara pandang yang sangat sempit,
artinya semua bentuk amal ibadah dilakukannya hanya berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits dan hanya sebatas wajib dan sunnah, sesuai dengan tuntunan dan petunjuk atau contoh Rosululloh sholalloohu ‘alaihi wasallam.
artinya semua bentuk amal ibadah dilakukannya hanya berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits dan hanya sebatas wajib dan sunnah, sesuai dengan tuntunan dan petunjuk atau contoh Rosululloh sholalloohu ‘alaihi wasallam.
2.Kita
melakukan dan memahami amal ibadah dengan cara pandang yang sangat luas,
artinya semua perbuatan baik sejauh tidak melanggar Hukum Islam, Rukun Islam dan Rukun Iman, pasti ia berhukum halal. Sehingga perbuatan baik yang berhukum halal tersebut, jika kita mengerjakannya dengan niat hanya karena Alloh, pasti ia menjadi bernilai ibadah.
artinya semua perbuatan baik sejauh tidak melanggar Hukum Islam, Rukun Islam dan Rukun Iman, pasti ia berhukum halal. Sehingga perbuatan baik yang berhukum halal tersebut, jika kita mengerjakannya dengan niat hanya karena Alloh, pasti ia menjadi bernilai ibadah.
Siapapun orangnya,
ketika ia memilih melakukan dan memahami amal ibadah secara sempit, pasti ia
lebih cenderung akan menyalahkan hal-hal yang belum tentu salah, begitu juga
terhadap hal-hal yang sangat jelas berhukum halal dan tidak melanggar Hukum Islam,
Rukun Islam dan Rukun Iman.
Siapapun orangnya,
ketika ia memilih melakukan dan memahami amal ibadah secara sempit, pasti ia
lebih banyak mencari perbedaan. Sehingga, ia sangat mudah menyalahkan dan
melarang semua ibadah, yang berbeda dengan pendapat para gurunya.
Berbeda, jika ia
memilih memahami amal ibadah secara luas, tentunya ia tidak akan mudah
menyalahkan orang lain, apalagi menuduh sesat dan melarang terhadap siapapun
yang tidak sepaham denganya.
Sekarang kita bebas
untuk memilihnya, kita mau mengikuti cara pandang pertama yang sangat sempit
atau cara pandang kedua yang sangat luas.
Mengingat, kedua cara tersebut sangat benar, jika merujuk ke ( Al-Qur,an surat Azal-zallah ayat 7 ) yaitu:
Mengingat, kedua cara tersebut sangat benar, jika merujuk ke ( Al-Qur,an surat Azal-zallah ayat 7 ) yaitu:
Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat Zarroh pun. Maka ia akan melihat balasannya".
Sesungguhnya hukum tertinggi agama Islam adalah Al- Qur-an
1. Mereka tidak memperdulikan perkataan yang sangat masyhur dari Sahabat Umar: “Ni’matul bid’atu hadzihi” (alangkah bagus bid’ah ini). Di sini sangat jelas Sayyidian Umar memuji bid’ah (Sholat Tarawih Berjamaah sebulan penuh) sebagai kebaikan, ini sekaligus mencerminkan sejelas-jelasnya tentang adanya bid’ah yang baik (hasanah).
2. Mereka tidak berani jujur dalam mengartikan kata “kullu” dalam hadits “Kullu bid’atin dholalah….”. Sebaliknya mereka memaksakan arti “kullu” hanya satu macam arti yaitu setiap/semua”.
Padahal arti “kullu” itu ada dua sesuai kontek kalimat, yaitu : “setiap/semua” dan “sebagian”. Jadi
menurut arti yang benar berkaitan hadits tersebut adalah “Sebagian Bid’ah Itu Sesat….. Dan Setiap Kesesatan Tempatnya Di Neraka”. Maka jelaslah maksudnya bahwa yang masuk neraka adalah setiap kesesatan dan bukan setiap bid’ah sebagaimana anggapan kaum Wahabi. Sebab menurut Sayyidina Umar ternyata ada bid’ah yang baik, dan bid’ah yang baik tentunya akan mendapat pahala berupa kenikmatan surga.
menurut istilah ilmu manthiq arti kata KULLU sudah sangat dimaklumi pengertiannya,yaitu:
1- Ada kata “kullu” yang berarti “setiap/tiap-tiap/semua″ ini disebut “kullu kulliyah”
2- Ada kata “kullu” yang berarti “sebagian” yang disebut “kullu kully” Sebagai contoh “kullu kulliyah”, adalah firman Allah dalam salah satu ayat Al Qur’an: “Kullu nafsin dzaa’iqotul maut” yang artinya “setiap yang berjiwa akan merasakan mati”. Kata KULLU dalam ayat tersebut sangat tepat diartikan “SETIAP” dan akan menjadi salah jika diartikan “SEBAGIAN” karena faktannya memang semua/setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati.
Demikianlah, kita tidak bisa mengartikan secara serampangan sehingga memaksakan arti yang nantinya akan menimbulkan kontra dengan fakta.
Adapun sebagai contoh “kullu kully”, adalah firman Allah: “wa ja’alnaa minal maa’i kulla syai’in hayyin” yang artinya “Dan telah kami jadikan dari air SEBAGIAN makhluk hidup”.
Dalam ayat ini kalau kata “kulla syai’in” diartikan “setiap/semua” maka akan kontra (bertentangan)
dengan kenyataan bahwa ada makhluk hidup yang dijadikan Allah tidak dari air. Ada makhluk yang
dijadikan dari cahaya seperti malaikat, dan ada yang dijadikan dari api; contohnya jin juga syetan
dijadikan dari api.
Sebagaimana firman Allah: “wa kholaqol jaanna min maarijin min naar” yang artinya
“Dan Allah telah menjadikan jin itu dari api”
Dari uraian di atas maka sudah jelaslah bahwa arti “kullu” itu ada dua yaitu “setiap/semua″ dan
“sebagian”. Dalam mengartikan “KULLU” tidak bisa serampangan begitu saja, tetapi harus melihat
kontek kalimatnya agar nantinya tidak menjadi kontra dengan realitas, fakta atau kenyataan yang
ada.
Oleh karena itu menjadi sangat mengherankan apa yang selama ini diperlihatkan oleh kaum wahhabi
yang bangga dengan kesalahan dalam mengartikan “kullu” tanpa melihat kontek kalimat, sehingga
mereka memaksakan arti “setiap/ semua” untuk kata KULLU dlam hadits BID’AH tersebut.
Sehingga mereka ngotot menggunakan dalil “kullu bid’atin dlolalah” sebagai alat untuk membid’ahkan apa saja yang tidak ada contohnya dari Nabi. Ini karena mereka menganggap semua/setiap bid’ah itu sesat tanpa kecuali. Tentunya ini kontra dengan kenyataan dan realitas bahwa
ternyata ada bid’ah (hal baru) yang baik (hasanah).
Sampai-sampai sayyidina Umar memuji bid’ah “NI’MATUL BID’ATU HADZIHI; alangkah bagus bid’ah ini”.
Beberapa Kesalahan yang suka membid'ahkan yang Lainnya terlebih kaum wahabi Benar-benar sudah masyhur tersebar di kalangan kaum Wahabi bahwa “bid’ah” itu hanyalah ada pada urusan “ibadah”.
Pada selain urusan ibadah mereka anggap tidak ada bid’ahnya. Mereka selalu mengatakan bahwa: Ibadah itu tak boleh diubah, ditambah, dikurangi atau diciptakan sendiri, kesemuanya harus berbentuk asli dari Nabi.
Gara-gara anggapan seperti itu mereka lupa bahwa berdo’a itu adalah termasuk ibadah, dan di
dalam berdo’a tentunya kita bisa ngarang sendiri, menciptakan sendiri dengan bahasa sendiri.
Baru satu contoh ini saja kaidah mereka menjadi runtuh sebab kontra dengan kenyataan bahwa ibadah berdo’a itu kita bisa menciptakannya sendiri.
Adapun urusan “selain ibadah”, kata kaum wahabi bolehlah berubah menurut keadaan zaman. Untuk mendukung anggapan ini mereka mengaplikasikan hadits Nabi saw:
“Jika ada soal-soal agamamu, serahkanlah ia kepadaku. Jika ada soal-soal keduniaanmu, maka kamu
lebih mengetahui akan soal-soal duniamu itu”.
Dipandang secara dangkal dan sepintas lalu anggapan Wahabi ini seperti benar.
Tetapi anggapan ini sesungguhnya adalah salah, hal ini karena:
1- ”Bid’ah” itu selain dalam urusan “ibadah” kenyataannya juga terdapat di dalam urusan mu’amalah
seperti: pementasan lakon-lakon Nabi dalam drama, baik yang bersifat hiburan atau komersil. Juga terdapat banyak contoh dalam kasus-kasus yang bersifat mu’amalah.
2- Sebenarnya yang menjadi sasaran hadits Nabi di atas adalah bukan mengenai “Bid’ah” melainkan
mengenai “hukum agama/syari’at” dan “hal-hal dunyawiyyah yang bersifat teknis”. Dalam hal teknis
dunyawiyah, kita dianggap lebih tahu oleh Nabi Saw.
Sebagai contoh:
- Hukum membangun masjid adalah urusan agama, harus dikembalikan kepada Nabi, artinya harus
bersumber dari Qur’an dan sunnah.
Sedang teknik pembangunannya adalah “urusan dunia” dan ini diserahkan kepada ummat, terserah
menurut perkembangan peradaban manusia.
- Hukum pertanian agar hasil- hasilnya menjadi halal atau haram adalah urusan agama. Ini harus
bersumber dari Qur’an atau Sunnah.
Teknik cocok tanamnya adalah urusan dunia, terserah kepada kita boleh mengikuti perkembangan
teknologi saat ini. Demikianlah kita dipandang lebih tahu urusan teknisnya oleh Nabi dalam hadits
tersebut.
Di dalam pemahaman seperti inilah Nabi menyabdakan Hadits di atas. Samasekali bukan seperti dalam pemahaman “kaum wahhabi” di atas, sehingga mereka dengan ngawur mengatakan bid’ah itu hanya ada dalam urusan agama, tentunya hal ini tidak nyambung dengan yang dimaksud Nabi dalam sabdanya tersebut.
Kesalahan kaum wahhabi selain yang sudah dicontohkan di atas, adalah mereka menganggap bahwa “ibadah” itu hanya satu macam yang mana semua bentuknya harus asli dari Nabi saw. Padahal faktanya tidak demikian menurut ilmu yang benar. Bahwa yang benar “ibadah” itu ada
dua macam, yaitu:
1. Ibadah Muqoyyadah (Ibadah yang terikat) atau biasa disebut juga sebagai ibadah mahdhoh, contohnya
seperti:
- Sholat wajib 5 waktu
- Zakat wajib
- Puasa Ramadhan
- Haji, dsb…..
Ibadah-ibadah ini mempunyai keasalannya (keasliannya) dari Nabi saw dalam segala-galanya, hukumnya, teknik pelaksanaannya, waktu dan bentuknya. Kesemuanya diikat (muqoyyad) menurut aturan- aturan tertentu. Tidak boleh dirubah.
2. Ibadah Muthlaqoh (Ibadah yang tidak terikat secara menyeluruh),
atau biasa juga disebut ibadah Ghoiru Mahdhoh, seperti contoh:
- Dzikir (lisan atau hati) kepada Allah SWT
- Tafakkur tentang makhluk Allah
- Belajar atau Mengajar ilmu agama
- Berbakti kepada ayah dan ibu (birrul walidain)
- dan masih banyak sekali
contohnya….
Ibadah-ibadah ini mempunyai keasalan dari Nabi saw. Dalam beberapa hal, sedang mengenai
bentuk dan teknik pelaksanaannya tidak diikat dengan aturan-aturan tertentu, terserah kepada ummat,
asal tidak melanggar garis-garis pokok “Syari’at Islam”. Pada ibadah muthlaqoh (ghoiru mahdhoh) inilah
terbuka peluang akan terjadi “bid’ah hasanah”. Demikianlah paham
Ahlussunnah wal jama’ah yang jelas bertentangan dengan pemahaman “kaum wahhabi”.
Sebelum mengahiri penjelasan mengenai bid’ah ini, sebagai tambahan akan kami berikan
contoh-contoh bid’ah hasanah:
- Mengumpulkan ayat-ayat Al Qur’an yang sebelumnya terpisah-pisah menjadi kitab (mushaf) yang tertib diawali dengan Fatihah dan diakhiri dengan an-Naas. Kita tahu dalam sejarahnya sempat terjadi
ketegangan di antara sahabat- sahabat Nabi karena pengumpulan Al Qur’an ini dianggap bid’ah oleh
mereka. Tetapi akhirnya dikumpulkan juga menjadi satu kitab sehingga kita di zaman ini bisa
menikmati baca Al Qur’an. Ini berkat tindakan nekad para sahabat dalam melaksanakan bid’ah hasanah.
- Memberi titik-titik dan syakal pada tulisan Al Qur’an. Sebagaimana dimaklumi Al Qur’an pada masa Nabi saw tidak ada titik dan syakalnya. Dengan diberinya titik dan syakal maka sekarang kita bisa membacanya dengan mudah. Coba bayangkan seandainya tidak diberi syakal dan titik, pastilah akan repot dan bahkan sulit membaca Al Qur’an. Berkat pelaksanaan bid’ah hasnah maka sekarang membaca Al Qur’an bisa menjadi lebih mudah.
- Membuat istilah-istilah hadits shohih, hadits hasan, hadits dloif dsb. Pada masa Nabi ini juga tidak
ada, tetapi berkat pelaksanaan bid’ah hasanah maka kita bias mengenali macam-macam hadits.
Tentunya para ulama dalam membuat istilah-istilah tsb diniatkan ibadah, bahkan Imam Bukhori selalu sholat dua rokaat setiap akan menulis hadits. Ini tidak ada contohnya dari Nabi saw.
- Mengajar/belajar agama di Madrasah-madrasah secara klasikal
(ber-kelas-kelas) dan bertingkat-tingkat dari dasar, menengah sampai universitas. Ibadah menuntut ilmu semacam ini tidak ada di zaman Nabi dan Sahabat.
- Peringatan Maulid Nabi saw dalam segala bentuk yang tidak bertentangan dengan garis-garis
syari’ah Islam, ini juga bid’ah hasanah.
Demikianlah penjelasan dari kami sejak awal tulisan hingga akhir semoga bermanfaat dan kami akhiri dengan do’a semoga kita semua dijauhkan Allah dari kesesatan paham kaum wahhabi ini sampai akhir hayat nanti…. Sedangkan bagi kaum Wahabi betapa pentingnya bagi kalian segera menyadari kesalahan-kesalahan anda dalam memahami bid’ah. Karena akibat kesalahan dalam memahami bid’ah bisa menyebabkan tersebarnya fitnah terhadap ajaran Islam dan para Ulama juga kaum muslimin.
2. Mereka tidak berani jujur dalam mengartikan kata “kullu” dalam hadits “Kullu bid’atin dholalah….”. Sebaliknya mereka memaksakan arti “kullu” hanya satu macam arti yaitu setiap/semua”.
Padahal arti “kullu” itu ada dua sesuai kontek kalimat, yaitu : “setiap/semua” dan “sebagian”. Jadi
menurut arti yang benar berkaitan hadits tersebut adalah “Sebagian Bid’ah Itu Sesat….. Dan Setiap Kesesatan Tempatnya Di Neraka”. Maka jelaslah maksudnya bahwa yang masuk neraka adalah setiap kesesatan dan bukan setiap bid’ah sebagaimana anggapan kaum Wahabi. Sebab menurut Sayyidina Umar ternyata ada bid’ah yang baik, dan bid’ah yang baik tentunya akan mendapat pahala berupa kenikmatan surga.
menurut istilah ilmu manthiq arti kata KULLU sudah sangat dimaklumi pengertiannya,yaitu:
1- Ada kata “kullu” yang berarti “setiap/tiap-tiap/semua″ ini disebut “kullu kulliyah”
2- Ada kata “kullu” yang berarti “sebagian” yang disebut “kullu kully” Sebagai contoh “kullu kulliyah”, adalah firman Allah dalam salah satu ayat Al Qur’an: “Kullu nafsin dzaa’iqotul maut” yang artinya “setiap yang berjiwa akan merasakan mati”. Kata KULLU dalam ayat tersebut sangat tepat diartikan “SETIAP” dan akan menjadi salah jika diartikan “SEBAGIAN” karena faktannya memang semua/setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati.
Demikianlah, kita tidak bisa mengartikan secara serampangan sehingga memaksakan arti yang nantinya akan menimbulkan kontra dengan fakta.
Adapun sebagai contoh “kullu kully”, adalah firman Allah: “wa ja’alnaa minal maa’i kulla syai’in hayyin” yang artinya “Dan telah kami jadikan dari air SEBAGIAN makhluk hidup”.
Dalam ayat ini kalau kata “kulla syai’in” diartikan “setiap/semua” maka akan kontra (bertentangan)
dengan kenyataan bahwa ada makhluk hidup yang dijadikan Allah tidak dari air. Ada makhluk yang
dijadikan dari cahaya seperti malaikat, dan ada yang dijadikan dari api; contohnya jin juga syetan
dijadikan dari api.
Sebagaimana firman Allah: “wa kholaqol jaanna min maarijin min naar” yang artinya
“Dan Allah telah menjadikan jin itu dari api”
Dari uraian di atas maka sudah jelaslah bahwa arti “kullu” itu ada dua yaitu “setiap/semua″ dan
“sebagian”. Dalam mengartikan “KULLU” tidak bisa serampangan begitu saja, tetapi harus melihat
kontek kalimatnya agar nantinya tidak menjadi kontra dengan realitas, fakta atau kenyataan yang
Baca Juga
- Inilah Ciri-Ciri Wanita Ahli Surga dan Kenikmatan Surga
- Keutamaan Sholat Sunnah Utaqo dan Tata Cara Sholat Sunnah Utaqo 8 Rakaat di Bulan Syawal
- Apa Dalil Orang Meninggal di Hari Jumat Bebas Dari Siksa Kubur
- Keutamaan Sholat Dhuha sesuai menurut Hadits Shahih
- Hikmah dan Manfaat Sholat Tahajud bagi yang Istiqomah Rutin Mengerjakannya
Oleh karena itu menjadi sangat mengherankan apa yang selama ini diperlihatkan oleh kaum wahhabi
yang bangga dengan kesalahan dalam mengartikan “kullu” tanpa melihat kontek kalimat, sehingga
mereka memaksakan arti “setiap/ semua” untuk kata KULLU dlam hadits BID’AH tersebut.
Sehingga mereka ngotot menggunakan dalil “kullu bid’atin dlolalah” sebagai alat untuk membid’ahkan apa saja yang tidak ada contohnya dari Nabi. Ini karena mereka menganggap semua/setiap bid’ah itu sesat tanpa kecuali. Tentunya ini kontra dengan kenyataan dan realitas bahwa
ternyata ada bid’ah (hal baru) yang baik (hasanah).
Sampai-sampai sayyidina Umar memuji bid’ah “NI’MATUL BID’ATU HADZIHI; alangkah bagus bid’ah ini”.
Beberapa Kesalahan yang suka membid'ahkan yang Lainnya terlebih kaum wahabi Benar-benar sudah masyhur tersebar di kalangan kaum Wahabi bahwa “bid’ah” itu hanyalah ada pada urusan “ibadah”.
Pada selain urusan ibadah mereka anggap tidak ada bid’ahnya. Mereka selalu mengatakan bahwa: Ibadah itu tak boleh diubah, ditambah, dikurangi atau diciptakan sendiri, kesemuanya harus berbentuk asli dari Nabi.
Gara-gara anggapan seperti itu mereka lupa bahwa berdo’a itu adalah termasuk ibadah, dan di
dalam berdo’a tentunya kita bisa ngarang sendiri, menciptakan sendiri dengan bahasa sendiri.
Baru satu contoh ini saja kaidah mereka menjadi runtuh sebab kontra dengan kenyataan bahwa ibadah berdo’a itu kita bisa menciptakannya sendiri.
Adapun urusan “selain ibadah”, kata kaum wahabi bolehlah berubah menurut keadaan zaman. Untuk mendukung anggapan ini mereka mengaplikasikan hadits Nabi saw:
“Jika ada soal-soal agamamu, serahkanlah ia kepadaku. Jika ada soal-soal keduniaanmu, maka kamu
lebih mengetahui akan soal-soal duniamu itu”.
Dipandang secara dangkal dan sepintas lalu anggapan Wahabi ini seperti benar.
Tetapi anggapan ini sesungguhnya adalah salah, hal ini karena:
1- ”Bid’ah” itu selain dalam urusan “ibadah” kenyataannya juga terdapat di dalam urusan mu’amalah
seperti: pementasan lakon-lakon Nabi dalam drama, baik yang bersifat hiburan atau komersil. Juga terdapat banyak contoh dalam kasus-kasus yang bersifat mu’amalah.
2- Sebenarnya yang menjadi sasaran hadits Nabi di atas adalah bukan mengenai “Bid’ah” melainkan
mengenai “hukum agama/syari’at” dan “hal-hal dunyawiyyah yang bersifat teknis”. Dalam hal teknis
dunyawiyah, kita dianggap lebih tahu oleh Nabi Saw.
Sebagai contoh:
- Hukum membangun masjid adalah urusan agama, harus dikembalikan kepada Nabi, artinya harus
bersumber dari Qur’an dan sunnah.
Sedang teknik pembangunannya adalah “urusan dunia” dan ini diserahkan kepada ummat, terserah
menurut perkembangan peradaban manusia.
- Hukum pertanian agar hasil- hasilnya menjadi halal atau haram adalah urusan agama. Ini harus
bersumber dari Qur’an atau Sunnah.
Teknik cocok tanamnya adalah urusan dunia, terserah kepada kita boleh mengikuti perkembangan
teknologi saat ini. Demikianlah kita dipandang lebih tahu urusan teknisnya oleh Nabi dalam hadits
tersebut.
Di dalam pemahaman seperti inilah Nabi menyabdakan Hadits di atas. Samasekali bukan seperti dalam pemahaman “kaum wahhabi” di atas, sehingga mereka dengan ngawur mengatakan bid’ah itu hanya ada dalam urusan agama, tentunya hal ini tidak nyambung dengan yang dimaksud Nabi dalam sabdanya tersebut.
Kesalahan kaum wahhabi selain yang sudah dicontohkan di atas, adalah mereka menganggap bahwa “ibadah” itu hanya satu macam yang mana semua bentuknya harus asli dari Nabi saw. Padahal faktanya tidak demikian menurut ilmu yang benar. Bahwa yang benar “ibadah” itu ada
dua macam, yaitu:
1. Ibadah Muqoyyadah (Ibadah yang terikat) atau biasa disebut juga sebagai ibadah mahdhoh, contohnya
seperti:
- Sholat wajib 5 waktu
- Zakat wajib
- Puasa Ramadhan
- Haji, dsb…..
Ibadah-ibadah ini mempunyai keasalannya (keasliannya) dari Nabi saw dalam segala-galanya, hukumnya, teknik pelaksanaannya, waktu dan bentuknya. Kesemuanya diikat (muqoyyad) menurut aturan- aturan tertentu. Tidak boleh dirubah.
2. Ibadah Muthlaqoh (Ibadah yang tidak terikat secara menyeluruh),
atau biasa juga disebut ibadah Ghoiru Mahdhoh, seperti contoh:
- Dzikir (lisan atau hati) kepada Allah SWT
- Tafakkur tentang makhluk Allah
- Belajar atau Mengajar ilmu agama
- Berbakti kepada ayah dan ibu (birrul walidain)
- dan masih banyak sekali
contohnya….
Ibadah-ibadah ini mempunyai keasalan dari Nabi saw. Dalam beberapa hal, sedang mengenai
bentuk dan teknik pelaksanaannya tidak diikat dengan aturan-aturan tertentu, terserah kepada ummat,
asal tidak melanggar garis-garis pokok “Syari’at Islam”. Pada ibadah muthlaqoh (ghoiru mahdhoh) inilah
terbuka peluang akan terjadi “bid’ah hasanah”. Demikianlah paham
Ahlussunnah wal jama’ah yang jelas bertentangan dengan pemahaman “kaum wahhabi”.
Sebelum mengahiri penjelasan mengenai bid’ah ini, sebagai tambahan akan kami berikan
contoh-contoh bid’ah hasanah:
- Mengumpulkan ayat-ayat Al Qur’an yang sebelumnya terpisah-pisah menjadi kitab (mushaf) yang tertib diawali dengan Fatihah dan diakhiri dengan an-Naas. Kita tahu dalam sejarahnya sempat terjadi
ketegangan di antara sahabat- sahabat Nabi karena pengumpulan Al Qur’an ini dianggap bid’ah oleh
mereka. Tetapi akhirnya dikumpulkan juga menjadi satu kitab sehingga kita di zaman ini bisa
menikmati baca Al Qur’an. Ini berkat tindakan nekad para sahabat dalam melaksanakan bid’ah hasanah.
- Memberi titik-titik dan syakal pada tulisan Al Qur’an. Sebagaimana dimaklumi Al Qur’an pada masa Nabi saw tidak ada titik dan syakalnya. Dengan diberinya titik dan syakal maka sekarang kita bisa membacanya dengan mudah. Coba bayangkan seandainya tidak diberi syakal dan titik, pastilah akan repot dan bahkan sulit membaca Al Qur’an. Berkat pelaksanaan bid’ah hasnah maka sekarang membaca Al Qur’an bisa menjadi lebih mudah.
- Membuat istilah-istilah hadits shohih, hadits hasan, hadits dloif dsb. Pada masa Nabi ini juga tidak
ada, tetapi berkat pelaksanaan bid’ah hasanah maka kita bias mengenali macam-macam hadits.
Tentunya para ulama dalam membuat istilah-istilah tsb diniatkan ibadah, bahkan Imam Bukhori selalu sholat dua rokaat setiap akan menulis hadits. Ini tidak ada contohnya dari Nabi saw.
- Mengajar/belajar agama di Madrasah-madrasah secara klasikal
(ber-kelas-kelas) dan bertingkat-tingkat dari dasar, menengah sampai universitas. Ibadah menuntut ilmu semacam ini tidak ada di zaman Nabi dan Sahabat.
- Peringatan Maulid Nabi saw dalam segala bentuk yang tidak bertentangan dengan garis-garis
syari’ah Islam, ini juga bid’ah hasanah.
Demikianlah penjelasan dari kami sejak awal tulisan hingga akhir semoga bermanfaat dan kami akhiri dengan do’a semoga kita semua dijauhkan Allah dari kesesatan paham kaum wahhabi ini sampai akhir hayat nanti…. Sedangkan bagi kaum Wahabi betapa pentingnya bagi kalian segera menyadari kesalahan-kesalahan anda dalam memahami bid’ah. Karena akibat kesalahan dalam memahami bid’ah bisa menyebabkan tersebarnya fitnah terhadap ajaran Islam dan para Ulama juga kaum muslimin.
Baca Juga Artikel
-
Keutamaan manfaat mengamalkan membaca asmaul husna dan menghafal 99 asmaul husna
-
Keutamaan manfaat Doa Al-Matsurat Dzikir Pagi dan Petang dan fadhilah membaca Al MaTsurat
-
cara agar bisa ikhlas dan mengenal macam-macam tanda ciri-ciri orang ikhlas
-
Hikmah rahasia keajaiban shalat subuh dan keutamaan manfaat shalat subuh berjamaah
-
hikmah keutamaan shalat Tahajud dan manfaat keajaiban sholat malam tahajud qiyamullail
-
Keutamaan Adzan dan Pahala Manfaat mengumandangkan adzan Bagi Para Muadzin
-
Hikmah shalat 5 ( lima ) waktu dan keutamaan manfaat sholat fardhu
-
Keutamaan sholat dhuha dan manfaat pahala mengerjakan shalat dhuha
-
ciri-ciri golongan wanita penghuni neraka dan sebab banyak wanita masuk neraka
-
Ancaman siksaan dan dosa bahaya meninggalkan sholat fardhu lima waktu
-
Hikmah manfaat berkurban dan keutamaan qurban hari raya idul adha
-
Hikmah Bulan sya'ban : keistimewaan puasa dan keutamaan malam Nisfu Sya'ban
-
Hikmah Keistimewaan bulan rajab dan keutamaan fadhilah manfaat puasa rajab