Ahlussunnah wal jamaah Menjawab Dalil Tuduhan Amalan Bidah Sesat
Ada golongan yang selalu menafsirkan Al-Qur’an dan Sunnah secara tekstual oleh karenanya sering mencela semua amalan yang tidak sesuai dengan paham mereka menjadi bidah.
mereka melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil hadits Rasulullah saw. berikut ini :
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةُ
“Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’.
Juga hadits Nabi saw.:
مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم)
‘Barangsiapa yang didalam agama kami mengadakan sesuatu yang tidak dari agama ia tertolak’.
Hadits-hadits tersebut oleh mereka dipandang sebagai pengkhususan hadits Kullu bid’atin dhalalah yang bersifat umum, karena terdapat penegasan dalam hadits tersebut, yang tidak dari agama ia tertolak, yakni dholalah/ sesat.
Dengan adanya kata Kullu (setiap/semua) pada hadits diatas ini tersebut mereka menetapkan apa saja yang terjadi setelah zaman Rasul- Allah saw. serta sebelumnya tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw. adalah bi’dah dholalah.
Mereka tidak memandang apakah hal yang baru itu membawa maslahat/kebaikan dan termasuk yang dikehendaki oleh agama atau tidak. Mereka juga tidak mau meneliti dan membaca contoh-contoh hadits diatas mengenai prakarsa para sahabat yang menambahkan bacaan-bacaan dalam sholat yang mana sebelum dan sesudahnya tidak pernah diperintahkan Rasulullah saw.
Mereka juga tidak mau mengerti bahwa memperbanyak kebaikan adalah kebaikan. Jika ilmu agama sedangkal itu orang tidak perlu bersusah-payah memperoleh kebaikan.
Ada lagi kaidah yang dipegang dan sering dipakai oleh golongan pengingkar dan pelontar tuduhan-tuduhan bid’ah mengenai suatu amalan, adalah kata-kata sebagai berikut:
“Rasulullah saw. tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya tidak ada satupun diantara mereka yang mengerjakannya.
Demikian pula para tabi’in dan tabi’ut-tabi’in. Dan kalau sekiranya amalan itu baik, mengapa hal itu tidak dilakukan oleh Rasulullah, sahabat dan para tabi’in?”
Atau ucapan mereka : “Kita kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa justru kita yang melakukannya..? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi saw., para sahabat, ulama-ulama salaf..? Karena melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah bid’ah”.
Kaidah-kaidah seperti itulah yang sering dijadikan pegangan dan dipakai sebagai perlindungan oleh golongan pengingkar ini juga sering mereka jadikan sebagai dalil/hujjah untuk melegitimasi tuduhan bid’ah mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru termasuk tahlilan, peringatan Maulid Nabi saw. dan sebagainya.
Terhadap semua ini mereka langsung menghukumnya dengan ‘sesat, haram, mungkar, syirik dan sebagainya’, tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok/asal agama.
Ucapan mereka seperti diatas ini adalah ucapan yang awalnya haq/benar namun akhirnya batil atau awalnya shohih namun akhirnya fasid. Yang benar adalah keadaan Nabi saw. atau para sahabat yang tidak pernah mengamalkannya (umpamanya; berkumpul untuk tahlilan, peringatan keagamaan dan lain sebagainya). Sedangkan yang batil/salah atau fasid adalah penghukuman mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru itu dengan hukum haram, sesat, syirik, mungkar dan sebagainya.
Yang demikian itu karena Nabi saw. atau salafus sholih yang tidak mengerjakan satu perbuatan bukanlah termasuk dalil, bahkan penghukuman dengan berdasarkan kaidah diatas tersebut adalah penghukuman tanpa dalil/nash.
Dalil untuk mengharamkan sesuatu perbuatan haruslah menggunakan nash yang jelas, baik itu dari Al-Qur’an maupun hadits yang melarang dan mengingkari perbuatan tersebut. Jadi tidak bisa suatu perbuatan diharam- kan hanya karena Nabi saw. atau salafus sholih tidak pernah melakukannya.
Telitilah lagi hadits-hadits diatas yakni amalan-amalan bid’ah para sahabat yang belum pernah dikerjakan atau diperintahkan oleh Rasulullah saw. dan bagaimana Rasulullah saw. menanggapinya. Penanggapan Rasul- Allah saw. inilah yang harus kita contoh !
Demikian pula para ulama mengatakan’ bahwa amalan ibadah itu bila tidak ada keterangan yang valid dari Rasulullah saw., maka amalan itu tidak boleh dinisbahkan kepada beliau saw.
Jelas disini para ulama tidak mengatakan bahwa suatu amalan ibadah tidak boleh diamalkan karena tidak ada keterangan dari beliau saw., mereka hanya mengatakan amalan itu tidak boleh dinisbahkan kepada Rasulullah saw. bila tidak ada dalil dari beliau saw. !
Kalau kita teliti perbedaan paham setiap ulama atau setiap madzhab selalu ada, dan tidak bisa disatukan. Sebagaimana yang sering kita baca dikitab-kitab fiqih para ulama pakar yaitu Satu hadits bisa dishohihkan oleh sebagian ulama pakar dan hadits yang sama ini bisa dilemahkan atau dipalsukan oleh ulama pakar lainnya.
Kedua kelompok ulama ini sama-sama berpedoman kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. tetapi berbeda cara penguraiannya.Tidak lain semuanya, karena status keshahihan itu masih bersifat subjektif kepada yang mengatakannya.
Dari sini saja kita sudah bisa ambil kesimpulan
Kalau hukum atas derajat suatu hadits itu masih berbeda-beda diantara para ulama, tentu saja ketika para ulama mengambil kesimpulan apakah suatu amal itu merupakan sunnah dari Rasulullah saw. pun berbeda juga
Para ulama pun berbeda pandangan ketika menyimpulkan hasil dari sekian banyak hadits yang berserakan. Umpamanya mereka berbeda dalam mengambil kesimpulan hukum atas suatu amal, walaupun amal ini disebutkan didalam suatu hadits yang shohih.
Para ulama juga mengenal beberapa macam sunnah yang sumbernya langsung dari Rasulullah saw., umpama- nya; Sunnah Qauliyyah, Sunnah Fi’liyyah dan Sunnah Taqriyyah.
Sunnah Qauliyyah ialah sunnah di mana Rasulullah saw. sendiri menganjurkan atau menyarankan suatu amalan, tetapi belum tentu kita mendapatkan dalil bahwa Rasulllah saw. pernah mengerjakannya secara langsung.
Jadi sunnah Qauliyyah ini adalah sunnah Rasulullah saw. yang dalilnya/riwayatnya sampai kepada kita bukan dengan cara dicontohkan, melainkan dengan diucapkan saja oleh beliau saw.
Di mana ucapan itu tidak selalu berbentuk fi’il amr (kata perintah), tetapi bisa saja dalam bentuk anjuran, janji pahala dan sebagainya.
Contoh sunnah qauliyyah yang mudah saja: Ada hadits Rasulullah saw. yang menganjurkan orang untuk belajar berenang, tetapi kita belum pernah mendengar bahwa Rasulullah saw. atau para sahabat telah belajar atau kursus berenang
Sunnah Fi’liyah ialah sunnah yang ada dalilnya juga dan pernah dilakukan langsung oleh Rasulullah saw. Misalnya ibadah shalat sunnah seperti shalat istisqa’, puasa sunnah Senin Kamis, makan dengan tangan kanan dan lain sebagainya.
Para shahabat melihat langsung beliau saw. melakukannya, kemudian meriwayatkannya kepada kita.
Sedangkan Sunnah Taqriyyah ialah sunnah di mana Rasulullah saw. tidak melakukannya langsung, juga tidak pernah memerintahkannya dengan lisannya, namun hanya mendiamkannya saja. Sunnah yang terakhir ini seringkali disebut dengan sunnah taqriyyah. Contohnya ialah beberapa amalan para sahabat yang telah kami kemukakan sebelumnya.
Begitu juga dengan amalan-amalan ibadah yang belum pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw. atau para sahabatnya, tetapi diamalkan oleh para ulama salaf (ulama terdahulu) atau ulama khalaf (ulama belakangan) misalnya mengadakan majlis maulidin Nabi saw., majlis tahlilan/ yasinan dan lain sebagainya .
Tidak lain para ulama yang mengamalkan ini mengambil dalil-dalil baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasulullah saw. yang menganjurkan agar manusia selalu berbuat kebaikan atau dalil-dalil tentang pahala-pahala bacaan dan amalan ibadah lainnya.
Berbuat kebaikan ini banyak macam dan caranya semuanya mustahab asalkan tidak tidak bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Apalagi didalam majlis-majlis (maulidin-Nabi, tahlilan/yasinan, Istighotsah) yang sering diteror oleh golongan tertentu, disitu sering didengungkan kalimat Tauhid, Tasbih, Takbir dan Sholawat kepada Rasulullah saw. yang semuanya itu dianjurkan oleh Allah SWT. dan Rasul-Nya.
Semuanya ini mendekatkan/taqarrub kita kepada Allah SWT.
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
‘Apa saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamu dilarang daripadanya, maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7).
Dalam ayat ini jelas bahwa perintah untuk tidak mengerjakan sesuatu itu adalah apabila telah tegas dan jelas larangannya dari Rasulullah saw.
Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan :
وَماَلَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
‘Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakannya (oleh Rasulullah), maka berhentilah (mengerjakannya)’.
Juga dalam hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Bukhori:
فَاجْتَنِبُوْهُ اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ
‘Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah dia !‘
Dalam hadits ini Rasulullah saw. tidak mengatakan:
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
‘Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia!’
Jadi pemahaman golongan yang melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil dua hadits yang telah kami kemukakan Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah… dan hadits Barangsiapa yang didalam agama… adalah tidak benar, karena adanya beberapa keterangan dari Rasulullah saw. didalam hadits-hadits yang lain dimana beliau merestui banyak perkara yang merupakan prakarsa para sahabat sedangkan beliau saw. sendiri tidak pernah melakukan apalagi memerintahkan.
Maka para ulama menarik kesimpulan bahwa bid’ah (prakarsa) yang dianggap sesat ialah yang mensyari’atkan sebagian dari agama yang tidak diizinkan Allah SWT. (QS Asy-Syura :21) serta prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang telah digariskan oleh syari’at Islam baik dalam Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah saw.,
contohnya yang mudah ialah:
Sengaja sholat tidak menghadap kearah kiblat, Shalat dimulai dengan salam dan diakhiri denga takbir ; Melakukan sholat dengan satu sujud saja; Melaku kan sholat Shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’at dan lain sebagai- nya.
Semuanya ini dilarang oleh agama karena bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Makna hadits Rasulullah saw. diatas yang mengatakan, mengada-adakan sesuatu itu…. adalah masalah pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah. Sebagai perumpamaan lagi yang mudah saja, ada orang mengatakan bahwa sholat wajib itu setiap harinya dua kali, padahal agama menetapkan lima kali sehari.
Atau orang yang sanggup tidak berhalangan karena sakit, musafir dan lain-lain berpuasa wajib pada bulan Ramadhan mengatakan bahwa kita tidak perlu puasa pada bulan tersebut tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apapun saja.
Inilah yang dinamakan menambah dan mengada-adakan agama. Jadi bukan masalah-masalah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.
Telitilah isi hadits Qudsi berikut ini yang diriwayatkan Bukhori dari Abu Hurairah :
…… وَمَا تَقَرَّبَ اِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْئٍ أحَبَّ اِلَيَّ مِمَّا افْتَرَطْتُ عَلَيْهِ,
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ أِلَيَّ بِالنّـَوَافِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ فَاِذَا أحْبَبْتهُ كُنْتُ سَمْـعَهُ الَّذِي يَسمَعُ بِهِ
وَبَصَرَهُ اَلَّذِي يُبْصِرُبِهِ, وَيَدَهُ اَلَّتِي يَبْـطِشُ بِهَا وَرِجْلـَهُ اَلَّتِي يَمْشِي بِهَا
وَاِنْ سَألَنِي لاُعْطَيْنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَـاذَنِي لاُعِيْذَنَّهُ. (رواه البخاري)
“…. HambaKu yang mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih Ku sukai daripada yang telah Kuwajibkan kepadanya, dan selagi hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan nawafil (amalan-amalan atau sholat sunnah) sehingga Aku mencintainya, maka jika Aku telah mencintainya. Akulah yang menjadi pendengarannya dan dengan itu ia mendengar, Akulah yang menjadi penglihatannya dan dengan itu ia melihat, dan Aku yang menjadi tangannya dengan itu ia memukul (musuh), dan Aku juga menjadi kakinya dan dengan itu ia berjalan. Bila ia mohon kepadaKu itu pasti Kuberi dan bila ia mohon perlindungan kepadaKu ia pasti Ku lindungi”.
Dalam hadits qudsi ini Allah SWT. mencintai orang-orang yang menambah amalan sunnah disamping amalan wajibnya.
Mari kita rujuk ayat-ayat ilahi yang ada kata-kata Kullu yang mana kata ini tidak harus berarti semua/setiap, tapi bisa berarti khusus untuk beberapa hal saja.
Firman Allah SWT dalam Al-Kahfi: 79, kisah Nabi Musa as. dengan Khidir (hamba Allah yang sholeh), sebagai berikut:
“Adapun perahu itu, maka dia adalah miliknya orang orang miskin yang bermata pencaharian dilautan dan aku bertujuan merusaknya karena dibelakang mereka terdapat seorang raja yang suka merampas semua perahu”.
Ayat ini menunjukkan tidak semua perahu yang akan dirampas oleh raja itu, melainkan perahu yang masih dalam kondisi baik saja. Oleh karenanya Khidir/seorang hamba yang sholeh sengaja membocorkan perahu orang-orang miskin itu agar terlihat sebagai perahu yang cacat/jelek sehingga tidaklah dia ikut dirampas oleh raja itu.
Dengan demikian maka kata safiinah dalam Al-Qur’an itu maknanya adalah safiinah hasanah atau perahu yang baik. Ini berarti safiinah diayat ini tidak bersifat umum dalam arti tidak semua safiinah/perahu yang akan dirampas oleh raja melainkan safiinah hasanah saja walaupun didalam ayat itu disebut Kullu safiinah (semua/setiap perahu).
Dalam surat Al-Ahqaf ayat 25 Allah SWT.berfirman : “Angin taufan itu telah menghancurkan segala sesuatu atas perintah Tuhannya”. Namun demikian keumuman pada ayat diatas ini tidak terpakai karena pada saat itu gunung-gunung, langit dan bumi tidak ikut hancur.
Dalam surat An-Naml ayat 23 Allah SWT.berfirman : “Ratu Balqis itu telah diberikan segala sesuatu”. Keumuman pada ayat ini juga tidak terpakai karena Ratu Balqis tidak diberi singgasana dan kekuasaan seperti yang diberikan kepada Nabi Sulaiman as.
Dalam surat Thoha ayat 15 Allah SWT. berfirman : “Agar setiap manusia menerima balasan atas apa yang telah diusahakannya”. Kalimat ‘apa yang telah diusahakannya’ mencakup semua amal baik yang hasanah (baik) maupun yang sayyiah (jelek).
Namun demikian amal yang sayyiah yang telah diampuni oleh Allah SWT. tidaklah termasuk yang akan memperoleh balasannya (siksa).
Dalam surat Al ‘Imran : 173 Allah SWT. berfirman mengenai suatu peristiwa dalam perang Uhud :
“Kepada mereka (kaum Muslimin) ada yang mengatakan bahwa semua orang (di Mekkah) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang….” Yang dimaksud semua orang (an-naas) dalam ayat ini tidak bermakna secara harfiahnya, tetapi hanya untuk kaum musyrikin Quraisy di Mekkah yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb yang memerangi Rasulullah saw. dan kaum Muslimin didaratan tinggi Uhud, jadi bukan semua orang Mekkah atau semua orang Arab.
Dalam surat Al-Anbiya : 98 : “Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Alah adalah umpan neraka jahannam..”. Ayat ini sama sekali tidak boleh ditafsirkan bahwa Nabi ‘Isa as dan bundanya yang dipertuhankan oleh kaum Nasrani akan menajdi umpan neraka. Begitu juga para malaikat yang oleh kaum musyrikin lainnya dianggap sebagai tuhan-tuhan mereka.
Dalam surat Aali ‘Imran : 159 : “Ajaklah mereka bermusyawarah dalam suatu urusan…”. Kalimat dalam suatu urusan (fil amri) tidak bermakna semua urusan termasuk urusan agama dan urusan akhirat , tidak ! Yang dimaksud urusan dalam hal ini ialah urusan duniawi. Allah SWT. tidak memerintahkan Rasul-Nya supaya memusyawarahkan soal-soal keagamaan atau keukhrawian dengan para sahabatnya atau dengan ummatnya.
Dalam surat Al-An’am : 44 : ‘Kami bukakan bagi mereka pintu segala sesuatu’. Akan tetapi pengertian ayat ini terkait, Allah tidak membukakan pintu rahmat bagi mereka (orang-orang kafir durhaka). Kalimat segala sesuatu adalah umum, tetapi kalimat itu bermaksud khusus.
Dalam surat Al-Isra : 70 : “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam….dan seterusnya “. Firman Allah ini bersifat umum, sebab Allah SWT. juga telah berfirman, bahwa ada manusia-manusia yang mempunyai hati tetapi tidak memahami ayat-ayat Allah, mempunyai mata tetapi tidak menggunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mempunyai telinga tetapi tidak menggunakannya untuk mendengarkan firman-firman Allah; mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi (QS.Al-A’raf : 179).
Sebuah hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,
Rasulullah saw. bersabda: “Orang yang menunaikan sholat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk neraka”.
Hadits ini bersifat umum, tidak dapat diartikan secara harfiah. Yang dimaksud oleh hadits tersebut bukan berarti bahwa seorang Muslim cukup dengan sholat shubuh dan maghrib saja, tidak diwajibkan menunaikan sholat wajib yang lain seperti dhuhur, ashar dan isya
Ibnu Hajar mengatakan; ‘ Hadits-hadits shahih yang mengenai satu persoalan2 harus dihubungkan satu sama lain untuk dapat diketahui dengan jelas maknanya yang muthlak dan yang muqayyad. Dengan demikian maka semua yang di-isyaratkan oleh hadits-hadits itu semuanya dapat dilaksana- kan’.
Dalam shohih Bukhori dan juga dalam Al-Muwattha terdapat penegasan Rasulullah saw. yang menyatakan bahwa jasad semua anak Adam akan hancur dimakan tanah.
Mengenai itu Ibnu ‘Abdul Birr rh. dalam At-Tamhid mengatakan: Hadits mengenai itu menurut lahirnya dan menurut keumuman maknanya adalah, bahwa semua anak Adam sama dalam hal itu. Akan tetapi dalam hadits yang lain Rasulullah saw. menegaskan pula, bahwa jasad para Nabi dan para pahlawan syahid tidak akan dimakan tanah (hancur)
Masih banyak contoh seperti diatas baik didalam nash Al-Qur’an maupun Hadits. Banyak sekali ayat Ilahi yang menurut kalimatnya bersifat umum, dan dalam ayat yang lain dikhususkan maksud dan maknanya, demikian pula banyak terdapat didalam hadits.
Begitu banyaknya sehingga ada sekelompok ulama mengatakan; ‘Hal yang umum hendaknya tidak diamalkan dulu sebelum dicari kekhususan-kekhususannya’.
Begitu juga halnya dengan hadits Nabi ‘Kullu bid’ atin dholalah’ walaupun sifatnya umum tapi berdasarkan dalil hadits lainnya maka disimpulkanlah bahwa tidak semua bid’ah (prakarsa) itu dholalah/sesat ! Mereka juga lupa yang disebut agama bukan hanya masalah peribadatan saja. Allah SWT. menetapkan agama Islam bagi umat manusia mencakup semua perilaku dan segi kehidupan manusia. Yang kesemuanya ini bisa dimasuki bid’ah baik yang hasanah maupun yang sayyiah/buruk.
Banyak kenyataan membuktikan, bahwa Rasulullah saw. membenarkan dan meirdhoi macam-macam perbuatan yang berada diluar perintah Allah dan perintah beliau saw. Silahkan baca kembali hadits-hadits yang telah kami kemukakan diatas.
Bagaimanakah cara kita memahami semua persoalan itu? Apakah kita berpegang pada satu hadits Nabi (yakni kalimat: semua bid’ah adalah sesat) diatas dan kita buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain yang lebih jelas uraiannya (yang menganjurkan manusia selalu berbuat kebaikan) ?
Yang benar ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima kebenarannya oleh jumhurul-ulama. Untuk itu tidak ada jalan yang lebih tepat daripada yang telah ditunjukkan oleh para imam dan ulama Fiqih, yaitu sebagaimana yang telah dipecahkan oleh Imam Syafi’i dan lain-lain.
Insya Allah dengan keterangan singkat tentang hadits-hadits Rasulullah saw. masalah Bid’ah, akan bisa membuka pikiran kita untuk mengetahui bid’ah mana yang haram dan bid’ah yang Hasanah/baik. Amin.
Contoh yang sekarang sering dianggap bid’ah padahal bukan
Berikut ini beberapa contoh yang disangka bid’ah total, tidak ada tawar-menawar. Padahal jika kita melihat pendapat ulama yang lain, hal itu tidak sampai derajat bid’ah.
1.Shalat tarawih 23 rakaat
Beberapa riwayat menunjukkan bahwa shalat tarawih tidak pernah lebih dari 11 rakaat.
Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan,
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.”[5]
Maka sebagian yang mendengar ada 23 rakaat menganggapnya bid’a. Apalagi prakteknya shalat 23 rakaat sering tidak khusyu’ dan tuma’ninah karena mengejar jumlah rakaat yang banyak.
Akan tetapi ada dalil lainnya yang menunjukkan bahwa shalat tarawih 23 rakaat.
Abdurrazaq Ash-Shan’ani meriwayatkan perkataan As-Sa`ib bin Yazid,
كُنَّا نَنْصَرِفُ مِنَ الْقِيَامِ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ وَقَدْ دَنَا فُرُوْعُ الْفَجْرِ ، وَكَانَ الْقِيَامُ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ ثَلَاثَةً وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً .
“Kami beranjak dari qiyamullail pada masa Umar ketika waktu fajar sudah dekat. Qiyamullail pada masa Umar adalah 23 rakaat.”[6]
Dan masih ada dalil-dalil yang lainnya. Oleh karena itu kita harus menghormati mereka yang shalat tawarih 23 rakaat.
2. Biji Tasbih
Beberapa orang keras dengan hal ini. Biji tasbih bid’ah total dan bahkan menyerupai (tasyabbuh) dengan orang kafir yaitu pendeta budha. Mereka berkata, gunakanlah jari tangan karena akan bersaksi di hari kiamat.
Akan tetapi jika kita melihat beberapa pendapat ulama yang lain, mereka membolehkan menggunakn biji tasbih.
Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah berkata,
ويباح استعمال السبحة ليعد بها الأذكار والتسبيحات من غير اعتقاد أن فيها فضيلة خاصة وكرهها بعض العلماء.
“Dibolehkan menggunakan biji tasbih untuk menghitung bacaan-bacaan dzikir dan tasbih asal tanpa ada keyakinan bahwa biji tasbih itu mengandung keutamaan khusus. Namun menggunakan biji tasbih itu dimakruhkan oleh sebagian ulama.”[9]
Syaikh Bin baz rahimahullah berkata,
المسبحة لا ينبغي فعلها ، تركها أولى وأحوط ، والتسبيح بالأصابع أفضل ، لكن يجوز له لو سبح بشيء كالحصى أو المسبحة أو النوى ، وتركها ذلك في بيته ، حتى لا يقلده الناس فقد كان بعض السلف يعمله ، والأمر واسع لكن الأصابع أفضل في كل مكان ، والأفضل باليد اليمنى ، أما كونها في يده وفي المساجد فهذا لا ينبغي ، أقل الأحوال الكراهة
“Berzikir dengan subhah tidak patut dilakukan, meninggalkannya adalah lebih utama dan lebih hati-hati. Tetapi boleh baginya kalau bertasbih menggunakan kerikil atau misbahah (alat tasbih) atau biji-bijian dan meninggalkan subhah tersebut dirumahnya, agar manusia tidak mentaklidinya. Dahulu para salaf -pun melakukannya. Masalah ini lapang, tetapi menggunakan jari adalah lebih utama pada setiap tempat, dan utamanya dengan tangan kanan. Ada pun membawanya ditangan ke masjid, sepatutnya jangan dilakukan, minimal hal itu makruh.”[10]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,
وأما عده بالنوى والحصى ونحو ذلك فحسن وكان من الصحابة رضي الله عنهم من يفعل ذلك وقد رأى النبي أم المؤمنين تسبح بالحصى واقرها على ذلك وروى أن أبا هريرة كان يسبح به
“Adapun menghitung tasbih dengan biji-bijian dan batu-batu kecil (semacam kerikil) dan semisalnya, maka hal itu perbuatan baik (hasan). Dahulu sebagian sahabatpun (Radhiallahu ‘Anhum )ada yang memakainya dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melihat ummul mukminin bertasbih dengan batu-batu kecil dan beliau menyetujuinya. Diriwayatk an pula bahwa Abu Hurairah pernah bertasbih dengan batu-batu kecil tersebut.”
Korbankan persatuan umat demi fanatisme furuiyah (cabang) adalah kebodohan atas agamanya. Kaidah ushul fikih: laa inkara fil mukhtalaf fiihi (tidak boleh ada pengingkaran dalam khilafiyah).
Kaidah berikutnya: tidak ada paling benar dalam masalah khilafiyah furuiyah. Kaidah berikutnya: tidak ada bid’ah dalam khilafiyah furuiyah. Menghakimi bid’ah terhadap khilafiyah furuiyah adalah kesalahan.
Bukan ikut sunnah jika yang hukumnya sunnah diwajibkan. Biarkan yang hukumnya sunnah tetap sunnah jangan diwajibkan.
Bid’ah terjadi hanya dalam wilayah ushul (pokok) bukan wilayah khilafiyah. Seperti shalat subuh empat rakaat. Ini bid’ah. Baca qunut bukan bid’ah.
Cinta Nabi ushul. Maulidan adalah khilafiyah furuiyah. Maka yang salah yang tidak cinta Nabi dan yang menyerang khilafiyah.
Membaca lailaha illallah: ushul. Tahlilan: khilafiyah furuiyah. Yang salah yang tidak ucapkan lailaaha illalah dan yang serang khilafiyah.
Tidak ikut sunnah yang serang khilafiyah. Sebab Nabi biarkan sahabatnya berbeda pendapat dalam hal furuiyah.
Tidak ikut sunnah yang hanya ikut amalan nabi sekitar ritual saja. Sebab sunnah Nabi juga mengurus pasar, ekonomi dan negara.
Bukan seorang fakih, yang keluarkan hukum sesuatu adalah haram dan bid’ah dengan alasan Nabi tidak pernah kerjakan.
Khilafiyah terjadi karena tidak ada dalil khusus. Ini tugas fikh. Yang bukan fakih jangan ikut-ikutan. Biar tidak rancu.
Kekacauan terjadi karena adanya orang-orang yang bukan fakih (ahli fikih) ikut-ikutan ngurus fikih lalu merasa dirinya berhak tandingi Imam Syafii dan imam-imam lainnya.
Khilafiyah itu sudah dibahas oleh ulama. Masing-masing punya dalil. Kita tinggal ikut saja. Bukan menghakimi yang lain.
Memilih pemimpin: ushul. Gunakan demokrasi: furu’. Maka salah yang tidak mau pilih pemimpin karena alasan furu’.
Salah yang mengatakan: dari pada pilih pemimpin muslim yang korup mending pilih pemimpin kafir yang tidak korup.
Seharusnya mengatakan: ayo pilih pemimpin muslim yang bersih dari pada pemimpin kafir yang tidak bersih.Sungguh masih banyak muslim yang bersih.
Dzalim terhadap Nabi dan Islam yang sempitkan sunnah hanya sekitar ritual. Sementara mengurus negara tidak dianggap sunnah.
Sebaiknya jangan mengaku muslim jika serang Islam dan umat Islam. Apalagi bela kebatilan dan kesesatan.
Yang membuat umat Islam Indonesia tidak berdaya adalah munculnya orang-orang mengaku muslim tapi serang umat Islam dan bela kebatilan.
Sebagian orang mengambil dalil yang bersifat umum dalam metetapkan hukum bid'ah, seperti menggunakan hadits di bawah ini:
عَنْ أم المؤمنين عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ [متفق عليه]
وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Dari Ummul Mukminin, Ummu Abdullah, Aisyah r.a. berkata: Rasulullah saw. bersabda, "Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu dalam agama kami ini maka akan ditolak."
[Disepakati oleh Imam Bukhari dan Muslim]
Dalam riwayat yang lain oleh Imam Muslim: "Barang siapa melakukan suatu amalan yang tidak mempunyai dasar dalam agama kami, akan ditolak"
Dalil lain menyebutkan :
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ كُلُّ ضَلاَلةٍ فِى النَّارِ (ص. مسلم و النسائي )
“Tiap-tiap bid’ah itu sesat dan tiap-tiap kesesatan itu (tempatnya) neraka”
Makna dari dalil-dalil tersebut bersifat umum (Al-'Aam). Jika langsung diterapkan maka bid'ah tersebut menjadi tanpa batas. Padahal dalam penetapan hukum selalu dengan batasan-batasan, syarat-syarat, 'illat hukum dsb. Dalil yang bermakna umum tersebut perlu dirinci dengan ijtihad, penggunaan metode syari'ah yang komperhensif sehingga mencapai maqoshidul ahkam.
Status hadits-hadits tersebut tidak ada yang mendho'ifkannya, semua pihak menerima sebagai dalil syari'at, namun dalam memahami (mengamalkan) hadits tersebut terdapat dua golongan yang berbeda. Perbedaan itu muncul karena perbedaan ijtihad.
PERBEDAAN IJTIHAD:
Tidak adanya ketegasan dari Allah dan Rasulullah tentang apa yang dimaksud dengan bid’ah itu.
Andaikata Rasulullah memberikannya contoh, seperti : “ Termasuk perkara bid’ah bila seseorang membaca surat Yasin hanya di malam jum’at saja” atau “ Siapa yang shalat tarawih melebihi sebelas rakaat adalah bid’ah”, maka akan mudah bagi kita menggolongkan mana yang perkara bid’ah dan mana yang tidak bid’ah.
Ada pun dua golongan tersebut adalah :
GOLONGAN PERTAMA:
Memahami hadits tersebut secara mutlak, bahwa setiap perkara baru yang tidak ada diajarkan/dicontohkan oleh Rasulullah adalah bid’ah. Seperti ; istighfar sesudah shalat lebih dari tiga kali adalah bid’ah. Mengadakan acara maulid nabi adalah bid’ah. dsb.
GOLONGAN KEDUA:
Memahami bahwa bid’ah itu terbagi dua, yakni bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyiah (sesat).
Saya memahami perkara bid’ah ini sebagai berikut :
Bahwa perkara bid’ah itu pastilah berkenaan dengan hal-hal yang besar (kullu dholalatin fin-nar) , perbuatan tersebut sudah pasti ketentuannya dalam syari'at dengan sanksi neraka.
Yang termasuk hal-hal yang besar itu seperti :
Menajiskan (mengkafirkan) orang diluar kelompoknya,
Menyatakan ada nabi sesudah Muhammad s.a.w,
Tidak lagi menggunakan hadits sebagai sumber hukum (ingkarissunnah),
Menambah atau mengurangi cara ibadah yang telah dietapkan oleh Allah dan Rasulullah, seperti; shalat subuh dibikin 5 raka’at, puasa Ramadhan 40 hari, shalat Jum’at diadakan pada hari Minggu dsb.
Maka perbuatan yang demikian ini disebut bid’ah yang hukumannya adalah neraka.
Bahwa yang menyangkut amalan-amalan yang bersifat fadhilah bukanlah bid’ah
Seperti apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab tentang jumlah raka’at shalat tarawih dari sebelas rakaat menjadi 23 raka’at. Umar melakukan shalat tarawih berjama'ah, padahal nabi melakukan secara munfarid. Tidaklah mungkin Umar bin Khattab mau melakukan hal tersebut jika perkara tersebut termasuk bid’ah, padahal dia salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, dan mustahil pula Umar tidak mengerti dengan perkara bid’ah. Lagi pula tidak ada seorang sahabat pun yang menyatakan amalan Umar itu bid’ah.
Atau juga seperti Ibnu Immi Maktum yang menambah azan subuh dengan lafazh “Ash-sholaatukhairum minan naum”, dan juga sebagaimana salah seorang sahabat Rasulullah yang menjampi dengan Al-Fatihah atas seorang kepala desa yang terkena sengatan binatang berbisa lalu sembuh, padahal cara demikian sebelumnya belum pernah diajarkan oleh Rasulullah, bahkan Rasulullah sangat gembira (HR. Bukhari Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri).
Atau juga mengadakan majlis-majlis dzikir. Dalam riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah menceritakan tentang keridhaan Allah terhadap majlis seperti itu.
Majlis dzikir itu dapat bermakna tempat kumpulan orang berzikir dengan menyebut lafazh-lafazh zhikir, kumpulan orang sholat, atau wirid-wirid menegakkan Al-Qur’an dan Sunnah.
Jika ada orang Yasinan , itu bukanlah bid’ah sayyiah, akan tetapi suatu majlis dzikir. Begitu pula dengan mengadakan acara Maulid Nabi, itu adalah majlis dzikir.
Atau ada orang baca “Usholli” sewaktu mau sholat, itu bukan bid’ah, karena bacaan tersebut tidak dibacanya dalam shalat, tapi diluar shalat. Sebab sholat itu dimulai dari takbir diakhiri dengan taslim. Jika usholli itu dibacanya antara takbir dengan taslim, maka itu bid’ah.
Jadi apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab sampai kepada persoalan Yasinan bukanlah termasuk bid’ah , tetapi mencontoh kepada yang sudah ada, tanpa merobah ajaran dasar Rasulullah itu sendiri.
Hanya saja terkadang amalan-amalan tersebut ada yang berlebih-lebihan, seperti melafazhkan dzikir keras-keras. Tapi itu juga tidak dikatakan bid’ah, tetapi perkara makruh.
TUDUHAN YANG BERBAHAYA
Ada sebagian umat Islam secara gampang menuduh bid'ah amalan orang lain, seperti "yasinan adalah bid'ah" sehingga terjadi tafarruq (Perpecahan). Pada persoalan ini akan melahirkan dua gelar ahli bid'ah ,yaitu ; Doktorhandus Bid'ah dan Profesor Bid'ah.
Orang yang yasinan bersetatus sebagai Doktorandus Bid'ah, sedangkan orang yang menuduh dan terjadi perpecahan, bersetatus sebagai Profesor Bid'ah. Kareana tingkat pelanggarannya berbeda. Doktorandus Bid'ah melanggar hadits, sedangkan Profesor Bid'ah melanggar Al-Qur'an.
KESIMPULAN :
1. Makna bid'ah itu adalah mengadakan perkara baru dalam hal aqidah dan ibadah yang belum ada contohnya dari Rasulullah SAW, seperti meyakini ada nabi sesudah Nabi SAW, dan atau merubah apa yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah, seperti ; sholat subuh dibuat 5 roka'at.
2. Adapun berkaitan dengan yasinan, maulid nabi, dan serupa dengan itu, tidaklah bid'ah karena itu hanya metode, wadah atau majlis zikir saja, sejauh mereka tidak merubah ayat-ayat Al-Qur'an dan tidak bermaksiat kepada Allah swt.
3. Tuduhan bid'ah terhadap amalan yang dilakukan dari hasil ijtihad dan mereka yang mengamalkannya bukan karena ingin bermaksiat kepada Allah, maka tuduhan tersebut sebagai fitnah agama. Secara tidak langsung si Penuduh telah menetapkan status pada yang dituduhnya sebagai "Ahli Neraka", karena kullu bid'atin fin nar. Kalau Si Tertuduh sudah berstatus ahli neraka berarti mereka dianggap golongan kafir, karena orang kafir pasti masuk neraka.
4. Tuduhan bid'ah terhadap amalan yang belum pasti bid'ahnya merupakan dosa besar karena menimbulkan perpecahan yang dilarang oleh Allah swt.
mereka melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil hadits Rasulullah saw. berikut ini :
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةُ
“Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’.
Juga hadits Nabi saw.:
مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم)
‘Barangsiapa yang didalam agama kami mengadakan sesuatu yang tidak dari agama ia tertolak’.
Hadits-hadits tersebut oleh mereka dipandang sebagai pengkhususan hadits Kullu bid’atin dhalalah yang bersifat umum, karena terdapat penegasan dalam hadits tersebut, yang tidak dari agama ia tertolak, yakni dholalah/ sesat.
Dengan adanya kata Kullu (setiap/semua) pada hadits diatas ini tersebut mereka menetapkan apa saja yang terjadi setelah zaman Rasul- Allah saw. serta sebelumnya tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw. adalah bi’dah dholalah.
Mereka tidak memandang apakah hal yang baru itu membawa maslahat/kebaikan dan termasuk yang dikehendaki oleh agama atau tidak. Mereka juga tidak mau meneliti dan membaca contoh-contoh hadits diatas mengenai prakarsa para sahabat yang menambahkan bacaan-bacaan dalam sholat yang mana sebelum dan sesudahnya tidak pernah diperintahkan Rasulullah saw.
Mereka juga tidak mau mengerti bahwa memperbanyak kebaikan adalah kebaikan. Jika ilmu agama sedangkal itu orang tidak perlu bersusah-payah memperoleh kebaikan.
Ada lagi kaidah yang dipegang dan sering dipakai oleh golongan pengingkar dan pelontar tuduhan-tuduhan bid’ah mengenai suatu amalan, adalah kata-kata sebagai berikut:
“Rasulullah saw. tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya tidak ada satupun diantara mereka yang mengerjakannya.
Demikian pula para tabi’in dan tabi’ut-tabi’in. Dan kalau sekiranya amalan itu baik, mengapa hal itu tidak dilakukan oleh Rasulullah, sahabat dan para tabi’in?”
Atau ucapan mereka : “Kita kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa justru kita yang melakukannya..? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi saw., para sahabat, ulama-ulama salaf..? Karena melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah bid’ah”.
Kaidah-kaidah seperti itulah yang sering dijadikan pegangan dan dipakai sebagai perlindungan oleh golongan pengingkar ini juga sering mereka jadikan sebagai dalil/hujjah untuk melegitimasi tuduhan bid’ah mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru termasuk tahlilan, peringatan Maulid Nabi saw. dan sebagainya.
Terhadap semua ini mereka langsung menghukumnya dengan ‘sesat, haram, mungkar, syirik dan sebagainya’, tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok/asal agama.
Ucapan mereka seperti diatas ini adalah ucapan yang awalnya haq/benar namun akhirnya batil atau awalnya shohih namun akhirnya fasid. Yang benar adalah keadaan Nabi saw. atau para sahabat yang tidak pernah mengamalkannya (umpamanya; berkumpul untuk tahlilan, peringatan keagamaan dan lain sebagainya). Sedangkan yang batil/salah atau fasid adalah penghukuman mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru itu dengan hukum haram, sesat, syirik, mungkar dan sebagainya.
Yang demikian itu karena Nabi saw. atau salafus sholih yang tidak mengerjakan satu perbuatan bukanlah termasuk dalil, bahkan penghukuman dengan berdasarkan kaidah diatas tersebut adalah penghukuman tanpa dalil/nash.
Dalil untuk mengharamkan sesuatu perbuatan haruslah menggunakan nash yang jelas, baik itu dari Al-Qur’an maupun hadits yang melarang dan mengingkari perbuatan tersebut. Jadi tidak bisa suatu perbuatan diharam- kan hanya karena Nabi saw. atau salafus sholih tidak pernah melakukannya.
Telitilah lagi hadits-hadits diatas yakni amalan-amalan bid’ah para sahabat yang belum pernah dikerjakan atau diperintahkan oleh Rasulullah saw. dan bagaimana Rasulullah saw. menanggapinya. Penanggapan Rasul- Allah saw. inilah yang harus kita contoh !
Demikian pula para ulama mengatakan’ bahwa amalan ibadah itu bila tidak ada keterangan yang valid dari Rasulullah saw., maka amalan itu tidak boleh dinisbahkan kepada beliau saw.
Jelas disini para ulama tidak mengatakan bahwa suatu amalan ibadah tidak boleh diamalkan karena tidak ada keterangan dari beliau saw., mereka hanya mengatakan amalan itu tidak boleh dinisbahkan kepada Rasulullah saw. bila tidak ada dalil dari beliau saw. !
Kalau kita teliti perbedaan paham setiap ulama atau setiap madzhab selalu ada, dan tidak bisa disatukan. Sebagaimana yang sering kita baca dikitab-kitab fiqih para ulama pakar yaitu Satu hadits bisa dishohihkan oleh sebagian ulama pakar dan hadits yang sama ini bisa dilemahkan atau dipalsukan oleh ulama pakar lainnya.
Kedua kelompok ulama ini sama-sama berpedoman kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. tetapi berbeda cara penguraiannya.Tidak lain semuanya, karena status keshahihan itu masih bersifat subjektif kepada yang mengatakannya.
Dari sini saja kita sudah bisa ambil kesimpulan
Kalau hukum atas derajat suatu hadits itu masih berbeda-beda diantara para ulama, tentu saja ketika para ulama mengambil kesimpulan apakah suatu amal itu merupakan sunnah dari Rasulullah saw. pun berbeda juga
Para ulama pun berbeda pandangan ketika menyimpulkan hasil dari sekian banyak hadits yang berserakan. Umpamanya mereka berbeda dalam mengambil kesimpulan hukum atas suatu amal, walaupun amal ini disebutkan didalam suatu hadits yang shohih.
Para ulama juga mengenal beberapa macam sunnah yang sumbernya langsung dari Rasulullah saw., umpama- nya; Sunnah Qauliyyah, Sunnah Fi’liyyah dan Sunnah Taqriyyah.
Sunnah Qauliyyah ialah sunnah di mana Rasulullah saw. sendiri menganjurkan atau menyarankan suatu amalan, tetapi belum tentu kita mendapatkan dalil bahwa Rasulllah saw. pernah mengerjakannya secara langsung.
Jadi sunnah Qauliyyah ini adalah sunnah Rasulullah saw. yang dalilnya/riwayatnya sampai kepada kita bukan dengan cara dicontohkan, melainkan dengan diucapkan saja oleh beliau saw.
Di mana ucapan itu tidak selalu berbentuk fi’il amr (kata perintah), tetapi bisa saja dalam bentuk anjuran, janji pahala dan sebagainya.
Contoh sunnah qauliyyah yang mudah saja: Ada hadits Rasulullah saw. yang menganjurkan orang untuk belajar berenang, tetapi kita belum pernah mendengar bahwa Rasulullah saw. atau para sahabat telah belajar atau kursus berenang
Sunnah Fi’liyah ialah sunnah yang ada dalilnya juga dan pernah dilakukan langsung oleh Rasulullah saw. Misalnya ibadah shalat sunnah seperti shalat istisqa’, puasa sunnah Senin Kamis, makan dengan tangan kanan dan lain sebagainya.
Para shahabat melihat langsung beliau saw. melakukannya, kemudian meriwayatkannya kepada kita.
Sedangkan Sunnah Taqriyyah ialah sunnah di mana Rasulullah saw. tidak melakukannya langsung, juga tidak pernah memerintahkannya dengan lisannya, namun hanya mendiamkannya saja. Sunnah yang terakhir ini seringkali disebut dengan sunnah taqriyyah. Contohnya ialah beberapa amalan para sahabat yang telah kami kemukakan sebelumnya.
Begitu juga dengan amalan-amalan ibadah yang belum pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw. atau para sahabatnya, tetapi diamalkan oleh para ulama salaf (ulama terdahulu) atau ulama khalaf (ulama belakangan) misalnya mengadakan majlis maulidin Nabi saw., majlis tahlilan/ yasinan dan lain sebagainya .
Tidak lain para ulama yang mengamalkan ini mengambil dalil-dalil baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasulullah saw. yang menganjurkan agar manusia selalu berbuat kebaikan atau dalil-dalil tentang pahala-pahala bacaan dan amalan ibadah lainnya.
Berbuat kebaikan ini banyak macam dan caranya semuanya mustahab asalkan tidak tidak bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Apalagi didalam majlis-majlis (maulidin-Nabi, tahlilan/yasinan, Istighotsah) yang sering diteror oleh golongan tertentu, disitu sering didengungkan kalimat Tauhid, Tasbih, Takbir dan Sholawat kepada Rasulullah saw. yang semuanya itu dianjurkan oleh Allah SWT. dan Rasul-Nya.
Semuanya ini mendekatkan/taqarrub kita kepada Allah SWT.
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
‘Apa saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamu dilarang daripadanya, maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7).
Dalam ayat ini jelas bahwa perintah untuk tidak mengerjakan sesuatu itu adalah apabila telah tegas dan jelas larangannya dari Rasulullah saw.
Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan :
وَماَلَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
‘Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakannya (oleh Rasulullah), maka berhentilah (mengerjakannya)’.
Juga dalam hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Bukhori:
فَاجْتَنِبُوْهُ اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ
‘Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah dia !‘
Dalam hadits ini Rasulullah saw. tidak mengatakan:
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
‘Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia!’
Jadi pemahaman golongan yang melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil dua hadits yang telah kami kemukakan Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah… dan hadits Barangsiapa yang didalam agama… adalah tidak benar, karena adanya beberapa keterangan dari Rasulullah saw. didalam hadits-hadits yang lain dimana beliau merestui banyak perkara yang merupakan prakarsa para sahabat sedangkan beliau saw. sendiri tidak pernah melakukan apalagi memerintahkan.
Maka para ulama menarik kesimpulan bahwa bid’ah (prakarsa) yang dianggap sesat ialah yang mensyari’atkan sebagian dari agama yang tidak diizinkan Allah SWT. (QS Asy-Syura :21) serta prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang telah digariskan oleh syari’at Islam baik dalam Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah saw.,
contohnya yang mudah ialah:
Sengaja sholat tidak menghadap kearah kiblat, Shalat dimulai dengan salam dan diakhiri denga takbir ; Melakukan sholat dengan satu sujud saja; Melaku kan sholat Shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’at dan lain sebagai- nya.
Semuanya ini dilarang oleh agama karena bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Makna hadits Rasulullah saw. diatas yang mengatakan, mengada-adakan sesuatu itu…. adalah masalah pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah. Sebagai perumpamaan lagi yang mudah saja, ada orang mengatakan bahwa sholat wajib itu setiap harinya dua kali, padahal agama menetapkan lima kali sehari.
Atau orang yang sanggup tidak berhalangan karena sakit, musafir dan lain-lain berpuasa wajib pada bulan Ramadhan mengatakan bahwa kita tidak perlu puasa pada bulan tersebut tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apapun saja.
Inilah yang dinamakan menambah dan mengada-adakan agama. Jadi bukan masalah-masalah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.
Telitilah isi hadits Qudsi berikut ini yang diriwayatkan Bukhori dari Abu Hurairah :
…… وَمَا تَقَرَّبَ اِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْئٍ أحَبَّ اِلَيَّ مِمَّا افْتَرَطْتُ عَلَيْهِ,
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ أِلَيَّ بِالنّـَوَافِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ فَاِذَا أحْبَبْتهُ كُنْتُ سَمْـعَهُ الَّذِي يَسمَعُ بِهِ
وَبَصَرَهُ اَلَّذِي يُبْصِرُبِهِ, وَيَدَهُ اَلَّتِي يَبْـطِشُ بِهَا وَرِجْلـَهُ اَلَّتِي يَمْشِي بِهَا
وَاِنْ سَألَنِي لاُعْطَيْنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَـاذَنِي لاُعِيْذَنَّهُ. (رواه البخاري)
“…. HambaKu yang mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih Ku sukai daripada yang telah Kuwajibkan kepadanya, dan selagi hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan nawafil (amalan-amalan atau sholat sunnah) sehingga Aku mencintainya, maka jika Aku telah mencintainya. Akulah yang menjadi pendengarannya dan dengan itu ia mendengar, Akulah yang menjadi penglihatannya dan dengan itu ia melihat, dan Aku yang menjadi tangannya dengan itu ia memukul (musuh), dan Aku juga menjadi kakinya dan dengan itu ia berjalan. Bila ia mohon kepadaKu itu pasti Kuberi dan bila ia mohon perlindungan kepadaKu ia pasti Ku lindungi”.
Dalam hadits qudsi ini Allah SWT. mencintai orang-orang yang menambah amalan sunnah disamping amalan wajibnya.
Mari kita rujuk ayat-ayat ilahi yang ada kata-kata Kullu yang mana kata ini tidak harus berarti semua/setiap, tapi bisa berarti khusus untuk beberapa hal saja.
Firman Allah SWT dalam Al-Kahfi: 79, kisah Nabi Musa as. dengan Khidir (hamba Allah yang sholeh), sebagai berikut:
“Adapun perahu itu, maka dia adalah miliknya orang orang miskin yang bermata pencaharian dilautan dan aku bertujuan merusaknya karena dibelakang mereka terdapat seorang raja yang suka merampas semua perahu”.
Ayat ini menunjukkan tidak semua perahu yang akan dirampas oleh raja itu, melainkan perahu yang masih dalam kondisi baik saja. Oleh karenanya Khidir/seorang hamba yang sholeh sengaja membocorkan perahu orang-orang miskin itu agar terlihat sebagai perahu yang cacat/jelek sehingga tidaklah dia ikut dirampas oleh raja itu.
Dengan demikian maka kata safiinah dalam Al-Qur’an itu maknanya adalah safiinah hasanah atau perahu yang baik. Ini berarti safiinah diayat ini tidak bersifat umum dalam arti tidak semua safiinah/perahu yang akan dirampas oleh raja melainkan safiinah hasanah saja walaupun didalam ayat itu disebut Kullu safiinah (semua/setiap perahu).
Dalam surat Al-Ahqaf ayat 25 Allah SWT.berfirman : “Angin taufan itu telah menghancurkan segala sesuatu atas perintah Tuhannya”. Namun demikian keumuman pada ayat diatas ini tidak terpakai karena pada saat itu gunung-gunung, langit dan bumi tidak ikut hancur.
Dalam surat An-Naml ayat 23 Allah SWT.berfirman : “Ratu Balqis itu telah diberikan segala sesuatu”. Keumuman pada ayat ini juga tidak terpakai karena Ratu Balqis tidak diberi singgasana dan kekuasaan seperti yang diberikan kepada Nabi Sulaiman as.
Dalam surat Thoha ayat 15 Allah SWT. berfirman : “Agar setiap manusia menerima balasan atas apa yang telah diusahakannya”. Kalimat ‘apa yang telah diusahakannya’ mencakup semua amal baik yang hasanah (baik) maupun yang sayyiah (jelek).
Namun demikian amal yang sayyiah yang telah diampuni oleh Allah SWT. tidaklah termasuk yang akan memperoleh balasannya (siksa).
Dalam surat Al ‘Imran : 173 Allah SWT. berfirman mengenai suatu peristiwa dalam perang Uhud :
“Kepada mereka (kaum Muslimin) ada yang mengatakan bahwa semua orang (di Mekkah) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang….” Yang dimaksud semua orang (an-naas) dalam ayat ini tidak bermakna secara harfiahnya, tetapi hanya untuk kaum musyrikin Quraisy di Mekkah yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb yang memerangi Rasulullah saw. dan kaum Muslimin didaratan tinggi Uhud, jadi bukan semua orang Mekkah atau semua orang Arab.
Dalam surat Al-Anbiya : 98 : “Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Alah adalah umpan neraka jahannam..”. Ayat ini sama sekali tidak boleh ditafsirkan bahwa Nabi ‘Isa as dan bundanya yang dipertuhankan oleh kaum Nasrani akan menajdi umpan neraka. Begitu juga para malaikat yang oleh kaum musyrikin lainnya dianggap sebagai tuhan-tuhan mereka.
Dalam surat Aali ‘Imran : 159 : “Ajaklah mereka bermusyawarah dalam suatu urusan…”. Kalimat dalam suatu urusan (fil amri) tidak bermakna semua urusan termasuk urusan agama dan urusan akhirat , tidak ! Yang dimaksud urusan dalam hal ini ialah urusan duniawi. Allah SWT. tidak memerintahkan Rasul-Nya supaya memusyawarahkan soal-soal keagamaan atau keukhrawian dengan para sahabatnya atau dengan ummatnya.
Dalam surat Al-An’am : 44 : ‘Kami bukakan bagi mereka pintu segala sesuatu’. Akan tetapi pengertian ayat ini terkait, Allah tidak membukakan pintu rahmat bagi mereka (orang-orang kafir durhaka). Kalimat segala sesuatu adalah umum, tetapi kalimat itu bermaksud khusus.
Dalam surat Al-Isra : 70 : “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam….dan seterusnya “. Firman Allah ini bersifat umum, sebab Allah SWT. juga telah berfirman, bahwa ada manusia-manusia yang mempunyai hati tetapi tidak memahami ayat-ayat Allah, mempunyai mata tetapi tidak menggunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mempunyai telinga tetapi tidak menggunakannya untuk mendengarkan firman-firman Allah; mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi (QS.Al-A’raf : 179).
Sebuah hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,
Rasulullah saw. bersabda: “Orang yang menunaikan sholat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk neraka”.
Hadits ini bersifat umum, tidak dapat diartikan secara harfiah. Yang dimaksud oleh hadits tersebut bukan berarti bahwa seorang Muslim cukup dengan sholat shubuh dan maghrib saja, tidak diwajibkan menunaikan sholat wajib yang lain seperti dhuhur, ashar dan isya
Ibnu Hajar mengatakan; ‘ Hadits-hadits shahih yang mengenai satu persoalan2 harus dihubungkan satu sama lain untuk dapat diketahui dengan jelas maknanya yang muthlak dan yang muqayyad. Dengan demikian maka semua yang di-isyaratkan oleh hadits-hadits itu semuanya dapat dilaksana- kan’.
Dalam shohih Bukhori dan juga dalam Al-Muwattha terdapat penegasan Rasulullah saw. yang menyatakan bahwa jasad semua anak Adam akan hancur dimakan tanah.
Mengenai itu Ibnu ‘Abdul Birr rh. dalam At-Tamhid mengatakan: Hadits mengenai itu menurut lahirnya dan menurut keumuman maknanya adalah, bahwa semua anak Adam sama dalam hal itu. Akan tetapi dalam hadits yang lain Rasulullah saw. menegaskan pula, bahwa jasad para Nabi dan para pahlawan syahid tidak akan dimakan tanah (hancur)
Baca Juga
- Hukum Pacaran dalam Islam dan Larangan mendekati Zina berdasarkan hadits Nabi
- Kumpulan Hadits Kitab Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam Ibnu Hajar Al-Ashqolani
- Perbedaan Zakat, Infak dan Sedekah yang wajib diketahui
- Bahaya Dosa Riba dan Hadits Ancaman tentang Hukum Riba
- Seputar Permasalah Shalat : Kesalahan dalam Sholat yang Sering Terjadi
Begitu banyaknya sehingga ada sekelompok ulama mengatakan; ‘Hal yang umum hendaknya tidak diamalkan dulu sebelum dicari kekhususan-kekhususannya’.
Begitu juga halnya dengan hadits Nabi ‘Kullu bid’ atin dholalah’ walaupun sifatnya umum tapi berdasarkan dalil hadits lainnya maka disimpulkanlah bahwa tidak semua bid’ah (prakarsa) itu dholalah/sesat ! Mereka juga lupa yang disebut agama bukan hanya masalah peribadatan saja. Allah SWT. menetapkan agama Islam bagi umat manusia mencakup semua perilaku dan segi kehidupan manusia. Yang kesemuanya ini bisa dimasuki bid’ah baik yang hasanah maupun yang sayyiah/buruk.
Banyak kenyataan membuktikan, bahwa Rasulullah saw. membenarkan dan meirdhoi macam-macam perbuatan yang berada diluar perintah Allah dan perintah beliau saw. Silahkan baca kembali hadits-hadits yang telah kami kemukakan diatas.
Bagaimanakah cara kita memahami semua persoalan itu? Apakah kita berpegang pada satu hadits Nabi (yakni kalimat: semua bid’ah adalah sesat) diatas dan kita buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain yang lebih jelas uraiannya (yang menganjurkan manusia selalu berbuat kebaikan) ?
Yang benar ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima kebenarannya oleh jumhurul-ulama. Untuk itu tidak ada jalan yang lebih tepat daripada yang telah ditunjukkan oleh para imam dan ulama Fiqih, yaitu sebagaimana yang telah dipecahkan oleh Imam Syafi’i dan lain-lain.
Insya Allah dengan keterangan singkat tentang hadits-hadits Rasulullah saw. masalah Bid’ah, akan bisa membuka pikiran kita untuk mengetahui bid’ah mana yang haram dan bid’ah yang Hasanah/baik. Amin.
Contoh yang sekarang sering dianggap bid’ah padahal bukan
Berikut ini beberapa contoh yang disangka bid’ah total, tidak ada tawar-menawar. Padahal jika kita melihat pendapat ulama yang lain, hal itu tidak sampai derajat bid’ah.
1.Shalat tarawih 23 rakaat
Beberapa riwayat menunjukkan bahwa shalat tarawih tidak pernah lebih dari 11 rakaat.
Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan,
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.”[5]
Maka sebagian yang mendengar ada 23 rakaat menganggapnya bid’a. Apalagi prakteknya shalat 23 rakaat sering tidak khusyu’ dan tuma’ninah karena mengejar jumlah rakaat yang banyak.
Akan tetapi ada dalil lainnya yang menunjukkan bahwa shalat tarawih 23 rakaat.
Abdurrazaq Ash-Shan’ani meriwayatkan perkataan As-Sa`ib bin Yazid,
كُنَّا نَنْصَرِفُ مِنَ الْقِيَامِ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ وَقَدْ دَنَا فُرُوْعُ الْفَجْرِ ، وَكَانَ الْقِيَامُ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ ثَلَاثَةً وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً .
“Kami beranjak dari qiyamullail pada masa Umar ketika waktu fajar sudah dekat. Qiyamullail pada masa Umar adalah 23 rakaat.”[6]
Dan masih ada dalil-dalil yang lainnya. Oleh karena itu kita harus menghormati mereka yang shalat tawarih 23 rakaat.
2. Biji Tasbih
Beberapa orang keras dengan hal ini. Biji tasbih bid’ah total dan bahkan menyerupai (tasyabbuh) dengan orang kafir yaitu pendeta budha. Mereka berkata, gunakanlah jari tangan karena akan bersaksi di hari kiamat.
Akan tetapi jika kita melihat beberapa pendapat ulama yang lain, mereka membolehkan menggunakn biji tasbih.
Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah berkata,
ويباح استعمال السبحة ليعد بها الأذكار والتسبيحات من غير اعتقاد أن فيها فضيلة خاصة وكرهها بعض العلماء.
“Dibolehkan menggunakan biji tasbih untuk menghitung bacaan-bacaan dzikir dan tasbih asal tanpa ada keyakinan bahwa biji tasbih itu mengandung keutamaan khusus. Namun menggunakan biji tasbih itu dimakruhkan oleh sebagian ulama.”[9]
Syaikh Bin baz rahimahullah berkata,
المسبحة لا ينبغي فعلها ، تركها أولى وأحوط ، والتسبيح بالأصابع أفضل ، لكن يجوز له لو سبح بشيء كالحصى أو المسبحة أو النوى ، وتركها ذلك في بيته ، حتى لا يقلده الناس فقد كان بعض السلف يعمله ، والأمر واسع لكن الأصابع أفضل في كل مكان ، والأفضل باليد اليمنى ، أما كونها في يده وفي المساجد فهذا لا ينبغي ، أقل الأحوال الكراهة
“Berzikir dengan subhah tidak patut dilakukan, meninggalkannya adalah lebih utama dan lebih hati-hati. Tetapi boleh baginya kalau bertasbih menggunakan kerikil atau misbahah (alat tasbih) atau biji-bijian dan meninggalkan subhah tersebut dirumahnya, agar manusia tidak mentaklidinya. Dahulu para salaf -pun melakukannya. Masalah ini lapang, tetapi menggunakan jari adalah lebih utama pada setiap tempat, dan utamanya dengan tangan kanan. Ada pun membawanya ditangan ke masjid, sepatutnya jangan dilakukan, minimal hal itu makruh.”[10]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,
وأما عده بالنوى والحصى ونحو ذلك فحسن وكان من الصحابة رضي الله عنهم من يفعل ذلك وقد رأى النبي أم المؤمنين تسبح بالحصى واقرها على ذلك وروى أن أبا هريرة كان يسبح به
“Adapun menghitung tasbih dengan biji-bijian dan batu-batu kecil (semacam kerikil) dan semisalnya, maka hal itu perbuatan baik (hasan). Dahulu sebagian sahabatpun (Radhiallahu ‘Anhum )ada yang memakainya dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melihat ummul mukminin bertasbih dengan batu-batu kecil dan beliau menyetujuinya. Diriwayatk an pula bahwa Abu Hurairah pernah bertasbih dengan batu-batu kecil tersebut.”
Korbankan persatuan umat demi fanatisme furuiyah (cabang) adalah kebodohan atas agamanya. Kaidah ushul fikih: laa inkara fil mukhtalaf fiihi (tidak boleh ada pengingkaran dalam khilafiyah).
Kaidah berikutnya: tidak ada paling benar dalam masalah khilafiyah furuiyah. Kaidah berikutnya: tidak ada bid’ah dalam khilafiyah furuiyah. Menghakimi bid’ah terhadap khilafiyah furuiyah adalah kesalahan.
Bukan ikut sunnah jika yang hukumnya sunnah diwajibkan. Biarkan yang hukumnya sunnah tetap sunnah jangan diwajibkan.
Bid’ah terjadi hanya dalam wilayah ushul (pokok) bukan wilayah khilafiyah. Seperti shalat subuh empat rakaat. Ini bid’ah. Baca qunut bukan bid’ah.
Cinta Nabi ushul. Maulidan adalah khilafiyah furuiyah. Maka yang salah yang tidak cinta Nabi dan yang menyerang khilafiyah.
Membaca lailaha illallah: ushul. Tahlilan: khilafiyah furuiyah. Yang salah yang tidak ucapkan lailaaha illalah dan yang serang khilafiyah.
Tidak ikut sunnah yang serang khilafiyah. Sebab Nabi biarkan sahabatnya berbeda pendapat dalam hal furuiyah.
Tidak ikut sunnah yang hanya ikut amalan nabi sekitar ritual saja. Sebab sunnah Nabi juga mengurus pasar, ekonomi dan negara.
Bukan seorang fakih, yang keluarkan hukum sesuatu adalah haram dan bid’ah dengan alasan Nabi tidak pernah kerjakan.
Khilafiyah terjadi karena tidak ada dalil khusus. Ini tugas fikh. Yang bukan fakih jangan ikut-ikutan. Biar tidak rancu.
Kekacauan terjadi karena adanya orang-orang yang bukan fakih (ahli fikih) ikut-ikutan ngurus fikih lalu merasa dirinya berhak tandingi Imam Syafii dan imam-imam lainnya.
Khilafiyah itu sudah dibahas oleh ulama. Masing-masing punya dalil. Kita tinggal ikut saja. Bukan menghakimi yang lain.
Memilih pemimpin: ushul. Gunakan demokrasi: furu’. Maka salah yang tidak mau pilih pemimpin karena alasan furu’.
Salah yang mengatakan: dari pada pilih pemimpin muslim yang korup mending pilih pemimpin kafir yang tidak korup.
Seharusnya mengatakan: ayo pilih pemimpin muslim yang bersih dari pada pemimpin kafir yang tidak bersih.Sungguh masih banyak muslim yang bersih.
Dzalim terhadap Nabi dan Islam yang sempitkan sunnah hanya sekitar ritual. Sementara mengurus negara tidak dianggap sunnah.
Sebaiknya jangan mengaku muslim jika serang Islam dan umat Islam. Apalagi bela kebatilan dan kesesatan.
Yang membuat umat Islam Indonesia tidak berdaya adalah munculnya orang-orang mengaku muslim tapi serang umat Islam dan bela kebatilan.
Sebagian orang mengambil dalil yang bersifat umum dalam metetapkan hukum bid'ah, seperti menggunakan hadits di bawah ini:
عَنْ أم المؤمنين عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ [متفق عليه]
وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Dari Ummul Mukminin, Ummu Abdullah, Aisyah r.a. berkata: Rasulullah saw. bersabda, "Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu dalam agama kami ini maka akan ditolak."
[Disepakati oleh Imam Bukhari dan Muslim]
Dalam riwayat yang lain oleh Imam Muslim: "Barang siapa melakukan suatu amalan yang tidak mempunyai dasar dalam agama kami, akan ditolak"
Dalil lain menyebutkan :
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ كُلُّ ضَلاَلةٍ فِى النَّارِ (ص. مسلم و النسائي )
“Tiap-tiap bid’ah itu sesat dan tiap-tiap kesesatan itu (tempatnya) neraka”
Makna dari dalil-dalil tersebut bersifat umum (Al-'Aam). Jika langsung diterapkan maka bid'ah tersebut menjadi tanpa batas. Padahal dalam penetapan hukum selalu dengan batasan-batasan, syarat-syarat, 'illat hukum dsb. Dalil yang bermakna umum tersebut perlu dirinci dengan ijtihad, penggunaan metode syari'ah yang komperhensif sehingga mencapai maqoshidul ahkam.
Status hadits-hadits tersebut tidak ada yang mendho'ifkannya, semua pihak menerima sebagai dalil syari'at, namun dalam memahami (mengamalkan) hadits tersebut terdapat dua golongan yang berbeda. Perbedaan itu muncul karena perbedaan ijtihad.
PERBEDAAN IJTIHAD:
Tidak adanya ketegasan dari Allah dan Rasulullah tentang apa yang dimaksud dengan bid’ah itu.
Andaikata Rasulullah memberikannya contoh, seperti : “ Termasuk perkara bid’ah bila seseorang membaca surat Yasin hanya di malam jum’at saja” atau “ Siapa yang shalat tarawih melebihi sebelas rakaat adalah bid’ah”, maka akan mudah bagi kita menggolongkan mana yang perkara bid’ah dan mana yang tidak bid’ah.
Ada pun dua golongan tersebut adalah :
GOLONGAN PERTAMA:
Memahami hadits tersebut secara mutlak, bahwa setiap perkara baru yang tidak ada diajarkan/dicontohkan oleh Rasulullah adalah bid’ah. Seperti ; istighfar sesudah shalat lebih dari tiga kali adalah bid’ah. Mengadakan acara maulid nabi adalah bid’ah. dsb.
GOLONGAN KEDUA:
Memahami bahwa bid’ah itu terbagi dua, yakni bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyiah (sesat).
Saya memahami perkara bid’ah ini sebagai berikut :
Bahwa perkara bid’ah itu pastilah berkenaan dengan hal-hal yang besar (kullu dholalatin fin-nar) , perbuatan tersebut sudah pasti ketentuannya dalam syari'at dengan sanksi neraka.
Yang termasuk hal-hal yang besar itu seperti :
Menajiskan (mengkafirkan) orang diluar kelompoknya,
Menyatakan ada nabi sesudah Muhammad s.a.w,
Tidak lagi menggunakan hadits sebagai sumber hukum (ingkarissunnah),
Menambah atau mengurangi cara ibadah yang telah dietapkan oleh Allah dan Rasulullah, seperti; shalat subuh dibikin 5 raka’at, puasa Ramadhan 40 hari, shalat Jum’at diadakan pada hari Minggu dsb.
Maka perbuatan yang demikian ini disebut bid’ah yang hukumannya adalah neraka.
Bahwa yang menyangkut amalan-amalan yang bersifat fadhilah bukanlah bid’ah
Seperti apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab tentang jumlah raka’at shalat tarawih dari sebelas rakaat menjadi 23 raka’at. Umar melakukan shalat tarawih berjama'ah, padahal nabi melakukan secara munfarid. Tidaklah mungkin Umar bin Khattab mau melakukan hal tersebut jika perkara tersebut termasuk bid’ah, padahal dia salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, dan mustahil pula Umar tidak mengerti dengan perkara bid’ah. Lagi pula tidak ada seorang sahabat pun yang menyatakan amalan Umar itu bid’ah.
Atau juga seperti Ibnu Immi Maktum yang menambah azan subuh dengan lafazh “Ash-sholaatukhairum minan naum”, dan juga sebagaimana salah seorang sahabat Rasulullah yang menjampi dengan Al-Fatihah atas seorang kepala desa yang terkena sengatan binatang berbisa lalu sembuh, padahal cara demikian sebelumnya belum pernah diajarkan oleh Rasulullah, bahkan Rasulullah sangat gembira (HR. Bukhari Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri).
Atau juga mengadakan majlis-majlis dzikir. Dalam riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah menceritakan tentang keridhaan Allah terhadap majlis seperti itu.
Majlis dzikir itu dapat bermakna tempat kumpulan orang berzikir dengan menyebut lafazh-lafazh zhikir, kumpulan orang sholat, atau wirid-wirid menegakkan Al-Qur’an dan Sunnah.
Jika ada orang Yasinan , itu bukanlah bid’ah sayyiah, akan tetapi suatu majlis dzikir. Begitu pula dengan mengadakan acara Maulid Nabi, itu adalah majlis dzikir.
Atau ada orang baca “Usholli” sewaktu mau sholat, itu bukan bid’ah, karena bacaan tersebut tidak dibacanya dalam shalat, tapi diluar shalat. Sebab sholat itu dimulai dari takbir diakhiri dengan taslim. Jika usholli itu dibacanya antara takbir dengan taslim, maka itu bid’ah.
Jadi apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab sampai kepada persoalan Yasinan bukanlah termasuk bid’ah , tetapi mencontoh kepada yang sudah ada, tanpa merobah ajaran dasar Rasulullah itu sendiri.
Hanya saja terkadang amalan-amalan tersebut ada yang berlebih-lebihan, seperti melafazhkan dzikir keras-keras. Tapi itu juga tidak dikatakan bid’ah, tetapi perkara makruh.
TUDUHAN YANG BERBAHAYA
Ada sebagian umat Islam secara gampang menuduh bid'ah amalan orang lain, seperti "yasinan adalah bid'ah" sehingga terjadi tafarruq (Perpecahan). Pada persoalan ini akan melahirkan dua gelar ahli bid'ah ,yaitu ; Doktorhandus Bid'ah dan Profesor Bid'ah.
Orang yang yasinan bersetatus sebagai Doktorandus Bid'ah, sedangkan orang yang menuduh dan terjadi perpecahan, bersetatus sebagai Profesor Bid'ah. Kareana tingkat pelanggarannya berbeda. Doktorandus Bid'ah melanggar hadits, sedangkan Profesor Bid'ah melanggar Al-Qur'an.
KESIMPULAN :
1. Makna bid'ah itu adalah mengadakan perkara baru dalam hal aqidah dan ibadah yang belum ada contohnya dari Rasulullah SAW, seperti meyakini ada nabi sesudah Nabi SAW, dan atau merubah apa yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah, seperti ; sholat subuh dibuat 5 roka'at.
2. Adapun berkaitan dengan yasinan, maulid nabi, dan serupa dengan itu, tidaklah bid'ah karena itu hanya metode, wadah atau majlis zikir saja, sejauh mereka tidak merubah ayat-ayat Al-Qur'an dan tidak bermaksiat kepada Allah swt.
3. Tuduhan bid'ah terhadap amalan yang dilakukan dari hasil ijtihad dan mereka yang mengamalkannya bukan karena ingin bermaksiat kepada Allah, maka tuduhan tersebut sebagai fitnah agama. Secara tidak langsung si Penuduh telah menetapkan status pada yang dituduhnya sebagai "Ahli Neraka", karena kullu bid'atin fin nar. Kalau Si Tertuduh sudah berstatus ahli neraka berarti mereka dianggap golongan kafir, karena orang kafir pasti masuk neraka.
4. Tuduhan bid'ah terhadap amalan yang belum pasti bid'ahnya merupakan dosa besar karena menimbulkan perpecahan yang dilarang oleh Allah swt.
Demikian artikel Ahlussunnah wal jamaah Menjawab Dalil Tuduhan Amalan Bidah Sesat,semoga bermanfaat