7 hal cara membersihkan qalbu ( mencuci hati ) dan pikiran yang kotor menurut islam
Hati merupakan pemimpin untuk seluruh anggota jasad kita . Kalau hati bersih maka segala amalan tindakan dan kelakuan kita pun akan beres. Tapi, kalau hati kita busuk, seluruh amaliah pun busuk.
Ada kemungkinan dibalik pekerjaan shaleh yang lahiriah itu, ternyata dihatinya tersimpan sifat atau niat buruk yang menyebabkan perbuatannya dimurkai Allah SWT.
Sebaliknya, ada kemungkinan pula seseorang yang terlihat teledor dalam perbuatannya atau bahkan berbuat maksiat, ternyata dihatinya terdapat sifat terpuji yang karenanya Allah SWT memaafkannya.
Oleh karena itu, mulia tidaknya seseorang tidak dilihat dari tampilan lahiriahnya tapi dari performa batiniah atau hatinya.
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta-harta kamu tapi melihat hati dan perbuatanmu.” (HR. Muslim)
Al Qurtubi berkata, “Ini sebuah hadits agung yang mengandung pengertian tidak diperbolehkannya bersikap terburu-buru dalam menilai baik atau buruknya seseorang hanya karena melihat gambaran lahiriah dari perbuatan taat atau perbuatan menyimpangnya.
Rasulullah SAW, bersabda dalam riwayat lain:“Ali bin Abi Thalib r.a. menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tiada satu hati pun kecuali memiliki awan seperti awan menutupi bulan. Walaupun bulan bercahaya, tetapi karena hatinya ditutup oleh awan, ia menjadi gelap. Ketika awannya menyingkir, ia pun kembali bersinar.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini memberi ilustrasi yang sangat indah. Hati manusia sesungguhnya bersih atau bersinar, namun suka tertutupi oleh awan kemaksiatan hingga sinarnya menjadi tidak tampak.
Oleh sebab itu, kita harus berusaha menghilangkan awan yang menutupi cahaya hati kita. Bagaimana caranya?
Ada kisah teladan dari sayyidina Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu dan Hatim al-Asham. Kisah ini semoga dapat menjadi inspirasi kita bersama dalam beramal dan menjalankan ibadah keseharian. Sehingga kita benar-benar menjadi seorang muslim yang sehat lahir dan bathin.
Suatu ketika seorang sufi ahli ibadah bernama Hatim al-Asham (w. 237 M) diminta penjelasan oleh Ashim bin Yusuf setelah pengajian majlis ta’limnya. Ashim bin Yusuf adalah seorang ahli fiqih yang melihat segalanya dari kacamata syariah. Ashim bertanya kepada Hatim “ya Syaikh bagaimanakah cara kamu melaksanakan shalat?”
Hatim al-Asham sebagai ahli tarekat dan syariat menjawab “ketika masuk waktu shalat aku berwudhu dengan dua wudhu, wudhu lahir dan wudhu bathin. Wudhu lahir itu syariat dan wudhu bathin adalah haqiqat”. Ashim bin Yusuf sebagai santri yang berkonsentrasi pada fiqih agak terkejut. Sebelum memperpanjang keterkejutannya Hatim al-Asham segera menerangkan bahwa “wudhu lahir dilakukan dengan membersihkan anggota badan menggunakan air.
Kalau wudhu bathin itu harus mencuci hati (salamatush shadri) dengan tujuh hal.
1) Dicuci dengan rasa penyesalan an-nadamah.
Menyesali dari berbagai kesalahan dan menyesali karena meninggalkan kebaikan.
Mengenai an-nadamah ini, kisah Sayyidina Umar bin Khattab ra patut didengarkan.
Sayyidina Umar bin Khattab ra memiliki kebun kurma di Madinah. Pohon-pohon kurmanya berbuah dengan kualitas bagus, manis dan legit. Tidak hanya itu saja, bahkan di dalam kebun itu terdapat satu sumber air, padahal sudah maklum sulitnya sumber air di Madinah.
Betapa bahagianya hati Sayyidina Umar memiliki kebun tersebut, hingga seringkali beliau berjalan mengelilingi dan memeriksa hasil perkebunannya. Hingga suatu saat sepulang dari kebun itu beliau berjumpa dengan para sahabat yang berjalan bersamaan.
Kemudian Sayyidina Umar bertanya “dari manakah gerangan kalian berjalan bersama-sama?” para sahabat menjawab “ini dari pulang berjama’ah ashar” kontan saja sayyidina umar berucap “innalilahi wa inna ilaihi rojiun, jadi ini tadi habis jama’ah ashar?
Masyaallah saksikanlah para sahabat, karena aku ketinggalan jama’ah karena kebun kurma ini, maka kebun ini aku wakafkan kepada fakir miskin”
Demikianlah selayaknya contoh yang harus kita teladani dalam hal penyesalan meninggalkan satu ibadah kebaikan. Bacaan taroji’ yang berbunyi innalilahi wa inna ilaihi rojiun, sebenarnya merupakan ungkapan ketika seseorang mendapatkan cobaan dan musibah. Jadi suburnya kebun dan sumber air bagi sayyidina Umar tidak lain hanyalah cobaan yang menimpa dirinya.
Dan kalimat innalilahi wa inna ilaihi rojiun menunjukkan betapa penyesalan yang luar bisa dari beliau akibat ketinggalan shalat jama’ah ashar.
Apakah demikian keadaan kita, pernahkan kita berucap innalilahi wa inna ilaihi rojiun ketika ketinggalan satu shalat jama’ah? Ada juga kita innalilahi wa inna ilaihi rojiun ketika gelas ditangan kita terjatuh, ketika makanan tertumpah dari tangan. Bukankah itu sama artinya kita lebih menghargai gelas dan maknan dari pada shalat jama’ah?
2. hati harus dicuci dengan taubat.
Taubat nashuha sesungguh-sungguhnya. Bertekad tidak akan mengulanginya lagi. Jika perlu taubat itu disertai dengan puasa tiga hari sebagai bukti kesungguhan dan membiasakan shalat di malam hari.
3.Hati harus dicuci dengan meninggalkan cinta dunia atau tarku hubbid dunya, mengapa? liannahu ra’su kulli khati’athin.
Karena cinta dunia mengakibatkan kesalahan. Mengapa menipu? Karena hubbid dunya, mengapa selingkuh? Karena hubbid dunya, mengapa korupsi? Karena hubbid dunya.
4. hati dicuci dengan menjauhkan diri dari suka kekuasaan hubbur riyasah sesunggunya kekuasaan sering menyibukkan manusia dan memalingkannya dari Allah Yang Maha Kuasa.
5, hati harus dicuci dengan meninggalkan suka dipuji hubbul mahmadah. Pujian seringkali menenggelamkan manusia dalam ke-Aku-annya yang mengakibatkan kesombongan yang luar biasa.
6, baiknya hati dicuci dari dendam tarkul hiqdi.
Meninggal dan melupakan dendam yang secara otomatis akan membawa seseorang tabah dan sabar menghadapi cobaan dan rasa sakit dari orang lain yang disebut hamlul adza.
7 baiknya hati dicuci dengan Tarkul Hasad, meninggalkan hasud yang sangat berbahaya. Sebagaimana bahayanya api yang dengan cepat membakar kayu.”
Hatim memaknai wudhu secara bathin. Lalu bagaimanakah cara beliau melaksanakan shalat. Kemudian lanjut Hatim al-Asham, “ketika memulai shalat aku merasa ka’bah di depanku, surga di kananku, neraka di kiriku, shirathal mustaqim di telapak kakiku, dan izrail telah menunggu di belakangku yang siap menyabut nyawa”.
Demikian 7 hal cara membersihkan qalbu ( mencuci hati ) dan pikiran yang kotor menurut islam
Ada kemungkinan dibalik pekerjaan shaleh yang lahiriah itu, ternyata dihatinya tersimpan sifat atau niat buruk yang menyebabkan perbuatannya dimurkai Allah SWT.
Sebaliknya, ada kemungkinan pula seseorang yang terlihat teledor dalam perbuatannya atau bahkan berbuat maksiat, ternyata dihatinya terdapat sifat terpuji yang karenanya Allah SWT memaafkannya.
Oleh karena itu, mulia tidaknya seseorang tidak dilihat dari tampilan lahiriahnya tapi dari performa batiniah atau hatinya.
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta-harta kamu tapi melihat hati dan perbuatanmu.” (HR. Muslim)
Al Qurtubi berkata, “Ini sebuah hadits agung yang mengandung pengertian tidak diperbolehkannya bersikap terburu-buru dalam menilai baik atau buruknya seseorang hanya karena melihat gambaran lahiriah dari perbuatan taat atau perbuatan menyimpangnya.
Rasulullah SAW, bersabda dalam riwayat lain:“Ali bin Abi Thalib r.a. menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tiada satu hati pun kecuali memiliki awan seperti awan menutupi bulan. Walaupun bulan bercahaya, tetapi karena hatinya ditutup oleh awan, ia menjadi gelap. Ketika awannya menyingkir, ia pun kembali bersinar.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini memberi ilustrasi yang sangat indah. Hati manusia sesungguhnya bersih atau bersinar, namun suka tertutupi oleh awan kemaksiatan hingga sinarnya menjadi tidak tampak.
Oleh sebab itu, kita harus berusaha menghilangkan awan yang menutupi cahaya hati kita. Bagaimana caranya?
Ada kisah teladan dari sayyidina Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu dan Hatim al-Asham. Kisah ini semoga dapat menjadi inspirasi kita bersama dalam beramal dan menjalankan ibadah keseharian. Sehingga kita benar-benar menjadi seorang muslim yang sehat lahir dan bathin.
Suatu ketika seorang sufi ahli ibadah bernama Hatim al-Asham (w. 237 M) diminta penjelasan oleh Ashim bin Yusuf setelah pengajian majlis ta’limnya. Ashim bin Yusuf adalah seorang ahli fiqih yang melihat segalanya dari kacamata syariah. Ashim bertanya kepada Hatim “ya Syaikh bagaimanakah cara kamu melaksanakan shalat?”
Hatim al-Asham sebagai ahli tarekat dan syariat menjawab “ketika masuk waktu shalat aku berwudhu dengan dua wudhu, wudhu lahir dan wudhu bathin. Wudhu lahir itu syariat dan wudhu bathin adalah haqiqat”. Ashim bin Yusuf sebagai santri yang berkonsentrasi pada fiqih agak terkejut. Sebelum memperpanjang keterkejutannya Hatim al-Asham segera menerangkan bahwa “wudhu lahir dilakukan dengan membersihkan anggota badan menggunakan air.
Kalau wudhu bathin itu harus mencuci hati (salamatush shadri) dengan tujuh hal.
1) Dicuci dengan rasa penyesalan an-nadamah.
Menyesali dari berbagai kesalahan dan menyesali karena meninggalkan kebaikan.
Mengenai an-nadamah ini, kisah Sayyidina Umar bin Khattab ra patut didengarkan.
Sayyidina Umar bin Khattab ra memiliki kebun kurma di Madinah. Pohon-pohon kurmanya berbuah dengan kualitas bagus, manis dan legit. Tidak hanya itu saja, bahkan di dalam kebun itu terdapat satu sumber air, padahal sudah maklum sulitnya sumber air di Madinah.
Betapa bahagianya hati Sayyidina Umar memiliki kebun tersebut, hingga seringkali beliau berjalan mengelilingi dan memeriksa hasil perkebunannya. Hingga suatu saat sepulang dari kebun itu beliau berjumpa dengan para sahabat yang berjalan bersamaan.
Baca Juga
- Seputar Permasalah Shalat : Kesalahan dalam Sholat yang Sering Terjadi
- Hukum Pacaran dalam Islam dan Larangan mendekati Zina berdasarkan hadits Nabi
- Kumpulan Hadits Kitab Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam Ibnu Hajar Al-Ashqolani
- Perbedaan Zakat, Infak dan Sedekah yang wajib diketahui
- Bahaya Dosa Riba dan Hadits Ancaman tentang Hukum Riba
Kemudian Sayyidina Umar bertanya “dari manakah gerangan kalian berjalan bersama-sama?” para sahabat menjawab “ini dari pulang berjama’ah ashar” kontan saja sayyidina umar berucap “innalilahi wa inna ilaihi rojiun, jadi ini tadi habis jama’ah ashar?
Masyaallah saksikanlah para sahabat, karena aku ketinggalan jama’ah karena kebun kurma ini, maka kebun ini aku wakafkan kepada fakir miskin”
Demikianlah selayaknya contoh yang harus kita teladani dalam hal penyesalan meninggalkan satu ibadah kebaikan. Bacaan taroji’ yang berbunyi innalilahi wa inna ilaihi rojiun, sebenarnya merupakan ungkapan ketika seseorang mendapatkan cobaan dan musibah. Jadi suburnya kebun dan sumber air bagi sayyidina Umar tidak lain hanyalah cobaan yang menimpa dirinya.
Dan kalimat innalilahi wa inna ilaihi rojiun menunjukkan betapa penyesalan yang luar bisa dari beliau akibat ketinggalan shalat jama’ah ashar.
Apakah demikian keadaan kita, pernahkan kita berucap innalilahi wa inna ilaihi rojiun ketika ketinggalan satu shalat jama’ah? Ada juga kita innalilahi wa inna ilaihi rojiun ketika gelas ditangan kita terjatuh, ketika makanan tertumpah dari tangan. Bukankah itu sama artinya kita lebih menghargai gelas dan maknan dari pada shalat jama’ah?
2. hati harus dicuci dengan taubat.
Taubat nashuha sesungguh-sungguhnya. Bertekad tidak akan mengulanginya lagi. Jika perlu taubat itu disertai dengan puasa tiga hari sebagai bukti kesungguhan dan membiasakan shalat di malam hari.
3.Hati harus dicuci dengan meninggalkan cinta dunia atau tarku hubbid dunya, mengapa? liannahu ra’su kulli khati’athin.
Karena cinta dunia mengakibatkan kesalahan. Mengapa menipu? Karena hubbid dunya, mengapa selingkuh? Karena hubbid dunya, mengapa korupsi? Karena hubbid dunya.
4. hati dicuci dengan menjauhkan diri dari suka kekuasaan hubbur riyasah sesunggunya kekuasaan sering menyibukkan manusia dan memalingkannya dari Allah Yang Maha Kuasa.
5, hati harus dicuci dengan meninggalkan suka dipuji hubbul mahmadah. Pujian seringkali menenggelamkan manusia dalam ke-Aku-annya yang mengakibatkan kesombongan yang luar biasa.
6, baiknya hati dicuci dari dendam tarkul hiqdi.
Meninggal dan melupakan dendam yang secara otomatis akan membawa seseorang tabah dan sabar menghadapi cobaan dan rasa sakit dari orang lain yang disebut hamlul adza.
7 baiknya hati dicuci dengan Tarkul Hasad, meninggalkan hasud yang sangat berbahaya. Sebagaimana bahayanya api yang dengan cepat membakar kayu.”
Hatim memaknai wudhu secara bathin. Lalu bagaimanakah cara beliau melaksanakan shalat. Kemudian lanjut Hatim al-Asham, “ketika memulai shalat aku merasa ka’bah di depanku, surga di kananku, neraka di kiriku, shirathal mustaqim di telapak kakiku, dan izrail telah menunggu di belakangku yang siap menyabut nyawa”.
Demikian 7 hal cara membersihkan qalbu ( mencuci hati ) dan pikiran yang kotor menurut islam